Friday, July 08, 2005

Premium Habis, Coy !

Bukan Sule, pentolan grup lawak SOS yang melontarkan joke itu kepada Ogi, anggota SOS lainnya. Kalimat itu bukanlah celetukan spontan dalam sebuah acara lawakan. Melainkan tulisan pemberitahuan yang tertempel pada meteran mesin premium, di salah satu pom bensin pinggiran Kota Bandung. Ada yang kontan putus asa, ada yang gemas menggerutu, ada juga yang cuma senyam-senyum --selesai membaca pemberitahuan itu. "Gusti, sudah ngantri sejam kok malah habis ?" keluh Mas Jawa pengendara Vespa, yang sebetulnya sudah dipersilahkan mendahului Pak Tua, pemilik Honda Supra yang sebelumnya ngantri tepat didepannya.

Untuk mengatasi penumpukan dan antrian kendaraan, sebuah pom bensin di Sukabumi sampai memasang pengumuman tak biasa : "pengendara ojek dan motor harap membawa keresek." Antrian motor segera berganti menjadi antrian panjang orang-orang yang menenteng botol Aqua, keresek mini market, wadah oli Mesran, bahkan kaleng minyak goreng. Tinggallah antrian mobil yang membuntut panjang. Dengan pengendara dan penumpang yang tampak loyo, jenuh, pasrah, gerah, lemas bak pindang tongkol. Setengah putus asa mereka, menunggu giliran pengisian besin dalam kabin bersuhu tinggi. "Seperti di oven saja..."komentar sopir abonemen, yang mobil Carry-nya terjepit di tengah antrian. "Sudah kesiksa begini, jatah kita juga dibatasin,Pak.."keluh dia lagi.

***

Langkanya premium telah membuat masyarakat gugup dan tremor. Bagaimana tidak ? Premium sebagai bahan bakar rata-rata kendaraan umum / pribadi ditengarai telah menipis persediaannya. Waktu masyarakat menemukan banyak pom bensin tutup siang pada minggu tanggal 3 Juli, antrian panjang kendaraanpun segera terjadi di seluruh kota-kota Indonesia pada hari seninnya (4/7). "Di pom bensin Sudirman Bandung sampai 2 kilo antriannya."kabar penelepon kepada redaksi cyberMQ, pada senin siang yang terik dan sibuk itu.

Keterlambatan pemerintah membayar dana subsidi BBM ke Pertamina adalah penyebab kelangkaan bahan bakar minyak. Pertamina tak mampu lagi menyediakan pasokan minyak, sebab dana untuk memenuhi stok pasokan memang tak tersedia. Meski tanggal 27 bulan lalu Departemen Keuangan telah mencairkan dana subsidi BBM sebesar 9,3 triliun rupiah, toh kelangkaan BBM masih belum bisa tertanggulangi. Memang masalahnya tidak sesederhana yang kita kira. Dalam sejarah baru kali ini harga minyak dunia berkisar antara $58-$60 per barrel. Sebagai salah satu peingimpor minyak terbesar -sebab produksi minyak dalam negeri tidak mencukupi- dengan anggaran terbatas, pemerintah tentu kesulitan memenuhi harga minyak per barrel yang sedemikian tinggi.

Jumlah kendaraan bermotor yang meningkat drastis, ikut membuat runyam urusan BBM ini. Pemerintah dan Pertamina menemui kesulitan dalam hal penyesuaian kuota dengan kebutuhan BBM di lapangan. Fasilitas kredit dari dealer motor atau mobil-lah yang telah merangsang nafsu banyak orang untuk memiliki kendaraan. Dengan kemudahan kredit, murahnya cicilan, simpelnya birokrasi, semua orang kini gampang memiliki kendaraan. Seliweran mobil atau motor kini bukan lagi pemandangan aneh, bahkan di daerah-daerah terpencil, yang jauh dari kota. Jumlah kendaraan yang berkeliaran di jalanan itulah, yang konon tak sepadan dengan kemampuan subsidi atau distribusi BBM, dari pemerintah sebagai subsider, dari Pertamina sebagai distributor.

***

Dimasa-masa kelangkaan BBM sekarang ini, Kepolisian Daerah Jawa Tengah menyita kapal berisi 528 ton solar, beserta tiga truk mobil tangki milik agen distributor CV Teddy Jaya Putra Bandung, Jawa Barat (liputan6 SCTV). Ribuan ton solar yang hendak diselundupkan ke luar negeri itu disita aparat Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap, Jawa Tengah. Sampai dengan awal Juli, kurang lebih sudah 3.500.000 liter bahan bakar selundupan yang disita pihak aparat kepolisian. Ton-ton bahan bakar sitaan itu berasal dari 231 kasus penyelundupan yang digagalkan antara Maret-Juli 2005 (Pikiran Rakyat, 7 Juli 2005). Sebanyak 304 orang telah diamankan dan ditetapkan sebagai tersangka berkenaan dengan kasus penyelundupan tersebut.

Ditengah kegundahan kita, ternyata tak hanya penyelundup saja yang berbuat ulah. Dengan dalih agar lebih berdaya di mata eksekutif, Badan Urusan Rumah Tangga – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini tengah menggodok kenaikan tunjangan bagi para anggota dan pimpinannya. Menurut Sekretaris Jenderal DPR, Faisal Jamal, kalau dulu take home pay jajaran parlemen berkisar 19-24 Juta Rupiah, saat tunjangan dinaikkan take home pay mereka menjadi 35-40 Juta Rupiah per bulan. Sebuah rencana yang tentu saja menuai banyak kritikan. Ada yang mengritik DPR sebagai kurang peka, kurang punya sensitivitas politik, mengalami kesesatan logika berpikir- sebab rencana kenaikan tunjangan tersebut berkembang diantara realita keprihatinan rakyat.

Waktu pejabat pemerintah dan Pertamina tepar sepulang rapat membahas kelangkaan BBM, dikala banyak orang nyaris stres dan colaps mengantri jatah premium, nyatanya masih ada pihak yang berusaha memanfaatkan "kesempatan" dalam "kesempitan." Ketika busung lapar, polio menjadi wabah- ketika kelangkaan BBM membuat masyarakat kian susah, resah dan gundah, parlemen yang seharusnya menunjukkan kepedulian tinggi malah sibuk mengurus jatah rejeki sendiri. Aneh ? Pak Haji Sukarno, salah satu orang yang dimintai komentarnya oleh Penulis, ternyata tidak merasa aneh. Menurut tokoh masyarakat Bandung Barat, yang juga simpatisan aktif salah satu partai politik itu, wajar saja kalau jajaran parlemen menuntut kenaikan tunjangan. "Modal untuk jadi anggota dewan itu kan besar, Dik. Wajar saja mereka menuntut kenaikan pendapatan. Belum balik modal mungkin. "cetus nya lurus."Maka dari itu, saya tak pernah mau dicalonkan jadi anggota dewan. Sebab niat hati ini belum bisa untuk lurus, untuk ikhlas sepenuhnya mengabdi. Lebih mulia nge-becak atau dagang cendol buat saya mah. Daripada jadi anggota dewan, janten wakil rakyat, tapi niatnya untuk dapat penghasilan besar."ucap Kakek sebelas cucu yang sedari muda aktif berorganisasi itu.

***

Menghadapi serba keprihatinan ini, rakyat lagi-lagi memang harus bersabar, bersabar dan bersabar. Driver truk, supir angkot, mobil pribadi yang doyan ugal-ugalan, atau anak muda yang hobi ngebut dengan bensin subsidi orangtua, sudah waktunya bagian kalian untuk : menyadari. Tanpa premium, tanpa bensin full tank, tak ada lagi acara petantang-petenteng, acara menyusahkan dan mencelakai orang, yang biasa kalian perbuat. Mengingat kelangkaan BBM saja sudah membuat -kita dan kalian- kelimpungan, maka itulah tandanya : kalian, kita, bukanlah apa-apa, bukanlah siapa-siapa.

Adapun bagi para penyelundup, sebagai orang yang kerap "memancing di air keruh"- selayaknya saja kita bertanya : kapan kalian mau bertobat ? Tidak melulu mencari manfaat, membuat banyak orang sesak, dicekik mudharat berkat perbuatan kalian. Kepada jajaran parlemen, wakil-wakil kita yang terhormat, sebagai mereka yang konon beratasnamakan rakyat- sewajarnya juga kita bertanya : kapan Anda bisa peduli ? Peduli, empati, aktif berpartisipasi, mengentaskan permasalahan rakyat dengan tuntas dan konkret. Kapan sih Anda bisa meluangkan waktu ? Tak hanya sibuk mengurus "kursi", debat kusir dan berkelahi, lantas menuntut penghasilan tinggi. Kapan ?

Orang Betawi Setelah 478 Tahun

Ke bandar Sunda Kelapa, sedari lama, orang-orang menujukan biduknya. Mulai dari berabad-abad lalu, berbagai suku bangsa, datang dari seberang darat, laut dan udara- menjejakkan kaki harapannya diatas tanah Jakarta.

Di kota tertua di Asia Tenggara inilah banyak orang telah mengadu nasib. Bangsa Portugis, Jepang atau Belanda, pernah menduduki kota dan memusatkan pemerintahan kolonialnya di kota yang dulu berpenduduk cuma ribuan kepala. Orang Cina, Arab, atau kaum perantau nusantara -orang Jawa, Sumatera, Sulawesi dan lain sebagainya- pernah pula menguji peruntungan di kota yang pernah dinamai Jakarta Toko Betsu Shi, oleh pemerintah pendudukan Dai Nippon pada 60 tahun yang lalu. Meskipun kota dengan banyak sungai ini terletak pada dataran rendah, sehingga sedari dulu selalu rawan bahaya banjir dan rentan terjangkiti wabah, berduyun-duyun orang tetap datang untuk bermukim dan bekerja pada setiap jam, menit, dan detiknya- sebagaimana dituturkan dalam berbagai riwayat Jakarta lama.

Bekas peninggalan orang Belanda, Cina atau Arab jaman Batavia itu masih dapat ditemui di sekitar daerah Menteng, Veteran, Kemayoran, Glodok, Senen atau Jatinegara- dalam wujud beberapa bangunan lama. Menurut Alwi Shahab, penulis buku "Robin Hood Betawi", sampai paruh pertama abad ke-20, lokasi pemukiman penduduk masih dipisahkan berdasarkan kelompok etnis. Orang Belanda dan Eropa tinggal di daerah elit Riujswijk (Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda) dan kawasan Menteng. Kelompok Indo Belanda tinggal di kawasan Kemayoran, sehingga kemudian muncul istilah "Belanda Kemayoran."

Jika orang Belanda, Eropa dan Indo Belanda tinggal di kawasan elit, dengan rumah berupa villa-villa megah berhalaman luas, maka orang Cina dan Arab tinggal di kawasan niaga, dalam rumah sedang atau kecil yang menyempil diantara jalanan kampung, gang-gang sempit, baik yang sederhana ataupun sedikit kumuh. Orang-orang Cina tepatnya tinggal di pusat-pusat perniagaan Glodok, Senen, dan Meester Cornelis (Jatinegara). Sedangkan orang-orang Arab bermukim di sekitar Pekojan atau Krukut, yang dulu dan kini terkenal dengan sebutan kampung Arab.

Lalu dimana pemukiman pribumi asli, tempat tinggal orang-orang Betawi ?

Orang Betawi terdesak dari daerah Menteng dan tersebar kemana-mana. Saat kebijakan pengelompokan pemukiman berdasarkan kelompok etnis diterapkan, pribumi asli secara langsung ataupun tidak terpaksa keluar dari daerah tempat tinggalnya. Semenjak itu, mereka menyebar ke pelosok-pelosok, walaupun ada sebagian pula yang masih tinggal di pusat kota. Daerah pelosok kota tempat tinggal banyak warga Betawi berada di sekitar Depok, Condet, Kranji, Gandul atau sekitar daerah pantai.

***
Selain menerapkan kebijakan pengelompokan pemukiman berdasarkan kelompok etnis, guna memberangus kekuatan pribumi yang potensial menentang penjajahan, Belanda memanfaatkan superioritas orang Cina dalam lingkup usaha, untuk mengeliminasi potensi pribumi asli dalam hal perniagaan. Belanda memberikan hak istimewa kepada orang Cina, sekaligus menarik pajak dalam jumlah besar dari berbagai sektor perdagangan. Disamping itu, juga banyak pejabat VOC menyewakan tanahnya kepada orang-orang Cina. Orang-orang Cina bercocok-tanam tebu, cengkeh, jahe, kacang dan sayur mayur, selain beternak sapi, ayam, atau kambing di tanah sewaan tersebut. Bekas tanah sewaan yang merupakan perkebunan itu diabadikan menjadi nama daerah, sesuai nama komoditi yang dibiakkan ketika itu, semisal : Kebon Sirih, Kebon Kacang dan Kebon Jahe.

Ditekan oleh kebijakan-kebijakan penguasa yang menekan dan diskriminatif, kalah bersaing dalam hal perniagaan dari orang Cina dan Arab, pribumi asli tersingkir sebagai warga kelas dua. Kalah secara politik, kalah pula secara ekonomi. Dan Jakarta lamapun akhirnya menjadi surga bagi kaum penjajah, kaum pendatang- orang-orang yang datang dari jauh. Ketika Batavia dikuasai oleh birokrasi kolonial dan dikendalikan penuh oleh investasi luar, tak ada lagi prioritas bagi pribumi asli. Sehingga, kebanyakan dari mereka akhirnya hanya menjadi orang-orang upahan yang akrab dengan kemiskinan, atau paling banter : menjadi kaki tangan kompeni, menjadi centeng Tuan Tanah, menjadi herder pemodal besar.

Setelah 478 tahun berdiri, setelah pemerintahan kolonial Belanda pergi dan warga keturunan membaur dengan penduduk asli, apakah Jakarta kini menjadi lebih ramah, dalam pandangan penduduk asli, atau lebih luas lagi dalam pandangan warga negara Indonesia yang merantau dari kota-kota lain di seberang propinsi ? Jakarta kini ternyata masih dikendalikan oleh investasi asing. Rata-rata warga negara Indonesia bekerja giat, rela meninggalkan sanak keluarga di kota asal, sementara gaji yang mereka peroleh jauh lebih kecil dari alokasi dividen untuk investor-investor asing. Orang bodoh berpendidikan rendah, orang pintar berpendidikan tinggi, sama-sama diserap keringatnya oleh para pemodal besar. Mereka harus puas hanya menjadi orang upahan, menjadi budak industri, sedang upah kerja merekapun kembali ke kantung investor, mengingat betapa konsumtifnya rata-rata warga Jakarta.

Bila warga betawi asli tempo doeloe didesak pindah lewat penerapan kebijakan pengelompokkan pemukiman berdasarkan etnis, maka masyarakat miskin Jakarta masa kini mesti rela digusur, demi memuluskan program pembangunan fisik penguasa negeri. Atas dalih pelestarian lingkungan hidup, masyarakat-masyarakat yang tinggal di bantaran kalipun pernah terpaksa harus mengungsi, dan dipersilahkan berpikir sendiri : mau bertinggal di mana setelah bedeng kumuh mereka ditertibkan.

Masyarakat keturunan Betawi asli banyak yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah, masuk kelompok mereka yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Secara ekonomi maupun budaya, masyarakat Betawi kinipun termasuk kelompok yang kian jauh terpinggirkan. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang masuk dalam kelompok masyarakat berada. Padahal, sebagai warga asli, mereka seharusnya menjadi prioritas dan penikmat pertama "kue pembangunan", yang telah dan sedang digerogoti kaum koruptor, para birokrat licik, atau kelompok pengusaha rakus.

Pada ulang tahunnya yang ke 478, kota Jakarta masih tetap menarik perhatian banyak orang yang hendak mengadu nasib dan peruntungan. Masih banyak Urang Awak, Halak Batak, Nyong Ambon, atau Wong Jowo yang tengah melayangkan pandangnya ke kota Jakarta. Dan mungkin masih banyak pula, meneer-meneer, signor-signor, mister-mister, atau babah-kokoh yang berniat nimbrung adu kuat di arena "pertaruhan" Jakarta, sebagaimana berlangsung sejak 478 tahun lampau. Suatu saat nanti mereka akan datang dan bertarung memperebutkan tahta penaklukan. Dan saat mereka berhitung soal siapa pemenang atau lawan kuat : semoga saja orang Betawi tetap masuk dalam hitungan.

Jalan Nasib Petani Kecil

Pernah Abah berkisah, tentang petani-petani Priangan yang terpaksa harus pindah, sebab tanah garapan mereka akan ditanami pohon kelapa sawit. Hektaran kebun kelapa sawit akan dibuka, menggantikan rimbun palawija garapan mereka. Begitulah rencana para pembesar di ibukota.

Awal mulanya, para petani enggan meninggalkan tanah priangan. Kendati penguasa negeri telah menjanjikan tanah dan kesejahteraan bagi kaum transmigran, para petani tetap tak mau pergi. Tanah kelahiran memberatkan langkah mereka untuk pergi. Walau hanya sepetak tanah warisan turun-temurun, hidup di tanah kelahiran membuat keluarga petani bahagia. Hasil tanahnya mencukupi pangan keluarga sehari-hari, bisa mengenyangkan perut abah, ambu dan anak-anaknya. Hidup keluarga petani di sana memang bersahaja. Walaupun begitu, berkah tersebut mereka syukuri dengan sepenuh jiwa. Asal kumpul dengan keluarga, meski setiap hari makan berlaukkan sekedar sambal-lalab-ikan asin saja, tak jadi soal buat mereka.

Setelah bujukan dan janji manis tak mampu membuai, penguasa lalu mengerahkan kekuatan aparat dan birokrasi. Satu-dua kali penyuluhan Kuwu atau Camat dalam bahasa tegas, satu-dua kali shock therapy dari aparatur, sehingga akhirnya para petani tak betah lagi bertinggal di desa kelahiran. Cekaman ketakutan membuat mereka terpaksa memilih : merantau ke pulau jauh sebagai kaum transmigran, pergi mengadu nasib ke kota sebagai kaum urban.

***
Di kota, keluarga petani yang tersingkir menghidupi diri dan keluarga dengan bekerja serabutan. Sang ayah bisa menjadi tukang, pedagang bakso keliling, membuka lapak cukur onder de boom (bawah pohon) atau membuka jasa tambal ban. Semuanya pekerjaan diluar bertani, karena di kota tak banyak lagi lahan buat bercocok-tanam.

Tak jarang, sebab desak kebutuhan di kota jauh lebih besar dari kebutuhan hidup mereka di desa, sang ibu dan anak ikut membantu sang ayah dalam mencari nafkah. Dengan modal seadanya sang ibu ikhlas menunggui sepetak kios, membuat aneka penganan untuk dititipkan di warung-warung, sampai bersedia menjadi pembantu di rumah gedong atau menerima cucian tetangga. Si anak, sang 'buah hati'-pun tak mau ketinggalan. Melihat betapa keras dan gigih ikhtiar ayah dan ibu, batinnya terpanggil untuk membantu. Dengan bekal tekad untuk meringankan beban orangtua, iapun sudi berpanas-panas menjajakan koran, berdagang kue sampai ke pelosok-pelosok kampung, bahkan ikut mengamen di lampu merah persimpangan. Jejak kaki yang dulu tercetak pada lumpur pematang itu, kini membekas diatas panas aspal jalanan kota. Jalan raya yang selalu sibuk, dengan para pengendara yang selalu 'mabuk' sebab hiruk-pikuk.

Jauh di seberang Pulau Jawa, kaum petani transmigran berhadapan dengan alam asing yang murni perawan. Perawan angkuh yang menunggu untuk ditaklukkan. Di kaki bukit-bukit tinggi pegunungan Papua, diantara rapat hutan belantara Sumatera dan diantara rawa-rawa gambut pedalaman Kalimantan, mereka datang, bermukim dan bekerja.

Berbeda dengan semasa mereka hidup di tanah kelahiran, ketika petak sawah terbentang tinggal menunggu benih untuk ditaburkan, para petani transmigran perlu menguatkan tangan dan hati untuk membuka lahan. Selagi tubuh mereka berusaha menyatu dengan iklim sekitar yang tak biasa, mereka tetap harus berupaya menyiapkan tanah tempat benih tanaman kelak dibesarkan. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, petani transmigran berusaha lolos dari seleksi alam. Ada yang berhasil, tapi lebih banyak yang menemui kegagalan. Gagal membesarkan bulir-bulir yang telah disemai, sebab lahan pertanian mereka sebetulnya tak layak digunakan untuk bercocok tanam.

"Lahan di sini sebetulnya sangat tak layak untuk ditanami. Pupuk bisa saja menyuburkan tanah ini. Tapi hasil dan biaya pemupukan yang dikeluarkan tentu saja tidak sebanding."keluh seorang transmigran, sebagaimana Abah pernah membacanya di surat kabar pagi.

***
Itulah nasib para petani kecil yang terpaksa harus pergi dari tanah kelahiran. Matahari desa yang terik tapi menghangatkan, telah diganti matahari kota yang menyengat dan memerihkan. Harum humuspun telah berganti bau asap knalpot atau lendir lumpur rawa yang kerap membuat mual. Tak ada lagi kicau burung, senda gurau, tanda keriangan alam dan keluarga petani disaat memasuki masa-masa panenan. Yang tampak di pelupuk mata mereka hanyalah : derap kota yang keras, rimbunan hutan, dataran asing yang tak subur.

Terlepas dari semua keprihatinan dan nasib buruk petani yang telah menjadi kaum urban atau kaum transmigran itu, banyak masyarakat negeri yang bisa mengambil teladan keuletan dan kegigihan mereka dalam bertahan hidup. Kendati banyak dari mereka yang tampak kalah atau terpuruk, sama sekali bukan alasan bahwa pengalaman mereka tak patut kita jadikan sebuah cermin. Justru pada peringatan Hari Krida Pertanian tanggal 21 Juni 2005 ini, ditengah gembar-gembor janji revitalisasi pertanian yang diungkapkan pemerintah beberapa hari lalu, sungguh sangat relevan bila kita duduk bersama mencari solusi pengentasan nasib kaum petani urban atau transmigran tersebut. Melihat upaya gigih, kejujuran, keuletan dan keikhlasan mereka dalam bekerja, setidaknya dapatlah kita menduga : merekalah sumber daya utama yang bakal besar daya dukungnya bagi program revitalisasi yang dicanangkan kemarin dulu.

Memang sudah waktunya pemerintah menghapus dosa rejim lama yang kerap mengabaikan nasib petani kecil. Melalui program konkret yang menjamin kesediaan lahan garapan, perlindungan penuh terhadap petani, kebijakan harga yang adil, pembatasan impor hasil pertanian, juga subsidi yang memadai, sektor pertanian akan kembali menggeliat dan kelak bisa menjadi inti pertumbuhan ekonomi nasional. Sebuah harapan yang wajar, tentunya. Dari anak negeri yang konon termasuk negeri agraris ini.

Membaca Tragedi

Sembilan belas tahun lampau, Virgiawan Listianto, musisi balada yang populer sebagai Iwan Fals dan kerap disapa Bang Iwan oleh simpatisan OI - organisasi fans club Iwan Fals- menggubah lagu "Ethiopia." Lewat speaker mini compo sederhana, dari speaker mono radio transistor, lagu itu mengalun pelan mulai dari kamar-kamar rumahan hingga menyeruak keras diantara ramai terminal transit. Dihari-hari 19 tahun lampau ketika lagu "Ethiopia" begitu populernya, seorang pengamen, remaja tanggung, bahkan anak-anak usia sekolah dasar kerap bernyanyi : "dengar rintihan berjuta kepala/ waktu lapar menggila/ hamparan manusia tunggu mati/ nyawa tak ada arti/ kering kerontang meradang/ entah sampai kapan/ datang tikam nurani..." Entah dengan parau atau merdu, ada saja terdengar orang melantunkan lirik penderitaan itu. Tak melulu dalam sedih atau dengan penghayatan mendalam terhadap lirik lagu, kadang ada juga diantara mereka yang melantunkan lirik itu penuh sukacita. Seolah repertoar yang mereka nyanyikan hanya sekedar theme song pengiring api unggun, atau lagu scoring acara begadangan percuma.

Tiga puluh tiga tahun silam, Wahyu Sulaiman Rendra, penyair besar berjuluk "Si Burung Merak"-pun pernah mengabarkan duka yang sama. Dalam "Doa Orang Lapar", salah satu sajak yang dimuat pada kumpulan "Sepatu Tua", kita diajak untuk meresapi penderitaan mereka yang papa. Melalui sajak panggung itu beliau membujuk kita untuk menekuri pengaduan mereka kepada Tuhan, selain mendengar teriak mereka yang parau sebab perut yang perih sangat : "... o Allah ! betapa indahnya sepiring nasi panas, semangkuk sop dan segelas kopi hitam. o Allah ! kelaparan adalah burung gagak, jutaan burung gagak, bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga-Mu."(Doa Orang Lapar, Sajak Sepatu Tua, Pustaka Jaya, 1972)

Ketika mendengar "Ethiopia" mengalun dari tape cassette recorder, mungkin terbayang oleh kita : hamparan gurun pasir gersang, beberapa batang pepohonan ranggas, dengan tubuh kering busung terbaring disorot matahari Afrika. Terbayang oleh kita lalat-lalat yang tengah "berdansa cha-cha", juga burung-burung bangkai yang terbang berhamburan dari sisa iga tubuh manusia. Wangsa Vultura itu memutar dan mengitar. Terbang seliweran diatas kepala bocah hitam telanjang dada, yang dengan wajah perihnya- dengan mata kuyunya, menatap kearah kita. Memohon pengasihan.

Andai keharuanlah yang menyeruak disaat kita tengah atau telah mendengar "Ethiopia", maka kepahitan dan kemarahanlah yang mengemuka disaat kita selesai membaca "Doa Orang Lapar." - betapa indahnya sepiring nasi panas, semangkuk sup, segelas kopi hangat,...- teriak Rendra pada satu malam pembacaan puisinya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada tahun 1970-an. Membaca bait berikutnyapun - "...dan kelaparan adalah burung gagak, selalu menakutkan. Kelaparan adalah pemberontakan, adalah penggerak gaib, dari pisau-pisau pembunuhan, yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin.."- pemirsanya dibuat terkesima, tersentak dan tergerak. Menginsyafi perbuatan yang bakal dilakukan mereka yang lapar, kala desak kebutuhan itu sudah tak mungkin ditunda-tunda lagi.

***
Perasaan kita cenderung tergugah dikala menyimak karya besar seniman negeri. Dan memang karena efek gugah tersebutlah seorang seniman dan karyanya berhak dihormati. Tapi jarang kita menyadari hakikat, bahwa apa yang termuat dalam karya mereka merupakan manifestasi keadaan lokal. Apa yang dinyanyikan Bang Iwan dan apa yang dideklamasikan penyair Rendra seakan sebuah pemandangan jauh, deskripsi keadaan jauh di negeri seberang, negeri yang asing, "tumaritis" atau bahkan sebuah negeri antah berantah. Begitulah terkaan kita.

Ketika kita tidak keburu "ngeh" atau menyadari bahwa apa yang dituturkan adalah keadaan sekitar kita -kemiskinan, kelaparan, yang berujung pada anarki atau kematian akibat penyakit- sang tiranpun lalu menyumbat mulut para seniman, mencekal pementasan karya seni, lalu menunjuk kritik halus mereka sebagai kalimat subversif. Dengan mencekal para seniman, secara tak langsung rejim tirani berusaha mematikan hati nurani rakyat. Kabar kemiskinan dari daerah-daerah terpencil ditutup oleh berita pembangunan dan prestasi-prestasi ekonomi yang "lipstis." Ungkapan kalimat yang jujur dari si papa, curahan hati mereka yang payah karena kemelaratan, kalah keras dari suara-suara kelompencapir yang sukses di wilayah percontohan, kalah merdu dari janji muluk konglomerat yang sedianya mau menjadi "bapak angkat." Pandangan kita akhirnya tak mampu menjangkau mereka yang sangat membutuhkan perhatian.

Maka, saat kita berbicara soal relasi antara kemiskinan dan kelaparan, hanya Sudan, Liberia, Ethiopia, atau negara-negara Afrika lain yang masuk dalam perhitungan. Waktu kita berbicara soal penindasan, anarki dan pengganyangan, cuma Palestina, Libanon, Afghanistan, Irak, atau El Salvador saja yang kerap menjadi topik perbincangan. Jarang terpikirkan oleh kita, di bumi yang "gemah ripah loh jinawi" ini, bakal ada orang yang mati karena kelaparan, membunuh karena kemiskinan, dan menjarah karena tak tahan dirundung kemelaratan.

***
Sejarah Indonesia pasca reformasi mencatat : ditengah kebanggaan pemerintah atas pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diantara "adigang-adiguna"-nya kita sebab pembangunan berhasil menciptakan kota-kota metropolis, kerusuhan meledak di Jakarta pada mei 1998. Dari pelosok daerah kumuh di seantero ibukota, rakyat miskin bergerak menuju areal-areal vital yang strategis. Berbagai infrastruktur kota dirusak, pusat perbelanjaan dijarah, dan pada puncaknya perbuatan vandalisme tersebut mengorbankan saudara-saudari kita yang sebetulnya tak berhak menuai balasan ketidak-adilan. Mengertilah kita, walau sangat terlambat, bahwa rakyat miskin yang tampak lemah tak berdaya itu mampu mencetuskan perlawanan. Dengan cara yang sangat brutal, sangat sadis, sehingga kerusakannya melampaui perkiraan kita yang lama menutup mata dari kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Dan lama setelah episode kekerasan itu berlalu, kaleidoskop Indonesia tahun 2005 inipun kelak akan merekam sebuah kejadian luar biasa- wabah penyakit busung lapar atau kuasiokor, kasus yang ternyata masih bisa ditemukan di negeri yang konon "gemah ripah loh jinawi" ini.

Menyaksikan orang miskin di kota menjarah dan membakar toko, mendapati anak-anak balita kelaparan, kurang gizi, lantas mati karena busung lapar yang parah, batin kitapun bertanya : apa saja hasil pembangunan kita selama ini ? ; kemana perginya hasil bumi ? Sehingga ada anak negeri yang mesti sakit dan mati sebab kekurangan gizi.

Kekagetan kita mendengar kabar busung lapar (kuasiorkor) dari sebuah daerah yang terkenal sebagai lumbung padi, keterkejutan kita membaca berita kematian kanak-kanak karena wabah tersebut di koran pagi, apakah juga merupakan sebuah amsal : betapa kita (rakyat dan pemerintahnya) telah lama menafikan suara-suara peringatan, buta akan huruf-huruf penyadaran, yang digubah dan ditulis khususnya oleh maestro dan pujangga negeri, seperti penyanyi balada dan penyair humanis yang disebut pada awal tulisan ?

Sikap kita yang kerap menganggap enteng dan tabu ekspresi seni, adalah satu pertanda kematian hati nurani. Sebelumnya kitapun sudah mematikan akal sehat kita, ketika kita berusaha membuat laju pertumbuhan ekonomi tinggi, tanpa memikirkan rencana distribusi merata dalam agenda perbaikan pemenuhan kebutuhan hidup. Melihat kenyataan itu, ternyata tak hanya seniman dan budayawan yang dianggap sekedar komplementer di negeri ini. Kitapun mengabaikan usul dan peran teknokrat yang sebetulnya sangat progresif dan elementer sebagai penopang kelangsungan negara. Bila begitu kenyataannya, apalagi yang bisa diandalkan dari bangsa yang telah kehilangan hati nurani sekaligus akal sehatnya ?

***
PBB menengarai pemanasan globallah yang menyebabkan banyak daerah Afrika dilanda musim kering yang panjang. Kekeringan yang memangsa tanaman pangan, sehingga banyak penduduk terutama balita yang kelaparan, kurang gizi, lalu mengalami defisiensi protein dan karbohidrat. Keadaan inilah yang menyebabkan bayi dibawah 3 tahun menderita busung lapar sampai kemudian menemui ajal.

Kondisinya menjadi ironik, saat kita mengalihkan pandangan dari tanah Afrika yang gersang ke bumi Indonesia yang hijau. Di tanah negeri kita yang katanya subur, seharusnya tak ada seorangpun yang sakit atau sekarat sebab menahan lapar yang panjang. Namun pada kenyataannya, di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, bahkan sebuah daerah lumbung padi di Makassar, ditemukan banyak kasus busung lapar, dengan beberapa diantaranya berujung pada kematian. Lantas dengan apa lagi kita bisa menyangkal, bahwa kita sudah kehilangan akal sehat dan hati nurani ?

Kini waktu yang darurat bagi kita untuk mulai "menengok ke dalam." Mengenali keadaan negeri sendiri dengan telik dan teliti, menekuri kejadian demi kejadian agar kita kembali mawas diri. Tak perlu kita euphoria menanggapi maraknya penyelidikan kasus korupsi. Tak usah ge-er menanggapi janji soal kompensasi, apalagi berbangga diri atas prestasi-prestasi pembangunan yang semu. Inilah saat darurat untuk membuka hati, telinga dan mata kita. Agar tak ada isyarat atau tanda ketidak-beresan yang masih terabaikan. Mari membaca keadaan. Sebab hati yang mati, mata yang malas, telinga yang tuli, hanya akan membuat kita senantiasa membaca tragedi.

Arti Kepulangan

Apa yang terlintas dalam benak para pengantar, saat melepas kepergian para calon haji ke tanah suci ? Nurul, seorang remaja putri, yang masih saja terisak kendati bis rombongan haji yang membawa kedua orangtuanya sudah berlalu dari pandangan, memberi jawaban pendek :”Saya ingin mak dan bapak pulang dengan selamat.” Apa yang terlintas dalam benak mereka yang pergi, disaat melambaikan salam perpisahan kepada keluarga,kerabat, yang berdiri diantara jubelan orang di gerbang pemberangkatan ? Rusidah, seorang Ibu dan nenek dari satu cucu, yang terus melambaikan tangan ke arah anak, cucu, dan kerabatnya dari atas bis,dengan lugas menjawab : “Semoga saya dan suami menjadi haji yang mabrur. Dan saya bisa pulang dalam keadaan sehat, agar bisa berkumpul kembali bersama keluarga.”

Betapa dinantikan sebuah kepulangan. Alangkah romantiknya peribadatan di tanah suci, ketika kepergian membuat rindu, dan kepulangan disyukuri sepenuh hati. Mengertilah kita, mengapa orang mau bersibuk-sibuk membuat hajatan Walimatusy Syafar ; mengapa mobil-mobil sesak penumpang selalu membentuk konvoi, dikala mengantar kepergian atau menjemput kedatangan jemaah haji. Kepergian, penantian, kepulanganpun menjadi sebuah roman. Melengkapi kisah pengalaman yang dituturkan oleh mereka yang pulang, saat kenduri penyambutan atau hajatan kecil ditengah-tengah keluarga.

***

Dengan bermacam cara, kepulangan para duyufur Rahman (tetamu Allah) disambut oleh keluarga dan handai-taulan. Pernah dalam perjalanan ke Bandar Sri Begawan, di salah satu pelosok wilayah ibukota Brunei Darussalam, penulis mendapati sebuah poster bertuliskan :SELAMAT PULANG KE TANAH AIR, melintang di gerbang masuk sebuah jalan kampung. Menurut keterangan supir taksi, tulisan itu dibuat oleh keluarga dan kaum kerabat untuk menyambut kedatangan saudara atau tetangga mereka yang pulang berhaji. Di sudut Bandar Sri Begawan lainnya, penulis malah sempat menyaksikan kemeriahan acara penyambutan terhadap para haji dan hajjah baru. Sesampainya di pintu masuk menuju rumah tinggal, para haji dan hajjah baru mendapat saweran beras kuning dan uang logam. Kaum remaja, lelaki atau perempuan, dan bocah-bocah kecil lalu berhamburan, bergulat satu sama lain, memperebutkan uang logam dan memunguti biji-biji beras kuning. Dari tahun ke tahun, tradisi tersebut selalu diadakan, jelas sang supir taksi. Meskipun ada maklumat dari seorang ulama Brunei, agar warganya meninggalkan cara penyambutan yang banyak mengandung bid’ah tersebut. “Dalam suasana kita sibuk membuat persediaan menyambut ketibaan duyufur Rahman (tetamu Allah) ini, perlulah diingat dan berhati-hati supaya cara sambutan yang diadakan itu hendaklah bersesuaian dengan hukum ugama kita. Apalagi sambutan ini sebagai tanda menzahirkan tanda syukur kepada Allah SWT, atas kepulangan mereka dari Tanah Suci Mekah. Jangan membazir dan berlebih-lebihan berbelanja. Apatah lagi dengan melakukan amalan yang langsung tidak terdapat dalam amalan ugama Islam seperti menghamburkan orang yang balik haji itu dengan beras kuning, dengan wang syiling dan sebagainya. Sehingga, orang-orang yang datang meraikan ketibaan mereka itu berebut-rebut dan bercampur di antara lelaki dan perempuan tanpa mempedulikan mahram atau bukan mahram, demi untuk mendapatkan wang-wang syiling dan sebagainya dengan kepercayaan untuk memperolehi berkat.”tulis redaktur harian Pelita Brunei dalam bahasa melayu, beberapa hari sebelum kepulangan jemaah haji asal negeri mereka.

Kemeriahan dalam menyambut kepulangan sanak dari berhaji, tampak pula pada kalangan masyarakat di Indonesia. Sejak pagi hari, jauh sebelum para “haji dan hajjah baru” tiba, kaum kerabat serta handai taulan telah memenuhi areal lokasi penjemputan. Ada yang duduk-duduk sambil bercengkerama. Ada yang berdiri sambil mengobrol satu sama lain. Dan sewaktu terdengar derum bis memasuki lokasi, mata dan tubuh mereka dengan reflek tertuju ke arah pintu kedatangan. Merekapun menyemut di seputar badan kendaraan. Dan ketika pintu bis terkuak, makin dekat tubuh mereka berangsur, berdesak-desakan, di seputar bis pengantar jemaah haji.

Tangis bahagia kemudian menyeruak diantara peluk dan jabat tangan para “haji dan hajjah baru” dengan para penjemputnya. Seorang anak lelaki mencium lengan dan pipi ibunya seraya mohon didoakan. Apabila engkau bertemu orang haji (yang baru balik haji) maka bersalamanlah dengannya dan berjabat-tanganlah dengannya dan suruhlah dia berdoa memohon keampunan untuk dirimu sebelum dia masuk ke rumahnya. Sesungguhnya dia itu telah mendapatkan ampunan Allah SWT (doanya adalah dimakbulkan).''tulis satu hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Umar r.a. Seorang adik memeluk abangnya seraya berbisik : Semoga Allah menerima ibadah haji abang, mengampunkan dosa abang, mengganti perbelanjaan abang.'' Sang abang yang kini berhak menambahkan huruf “H” pada awal rentetan namanya, mengaminkan doa sang adik dengan ucap terbata-bata. Kegembiraan itu biasanya terus berlanjut. Dengan kenduri sederhana, bagi-bagi cindera mata, atau acara ramah-tamah di rumah “haji dan hajjah baru”, sembari menikmati oleh-oleh, seperti : kurma Rasul, kacang arab, atau segelas air zamzam. Cukuplah kenduri sederhana itu, sebab Allah telah berfirman : "Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhannya.” (Q.S. 17 : 27)

***

Nun di ujung barat Indonesia, kepulangan para jemaah haji malah menambah kepiluan yang tengah bertengger di seantero wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Juniazi S.Ag., Humas PPIH Embarkasi Banda Aceh, menuturkan betapa dadanya sesak oleh haru, disaat menyaksikan para duyufur Rahman asal kloter I kontingen haji Nanggroe Aceh Darussalam, melakukan sujud syukur di landasan pacu Bandara Sultan Iskandar Muda, seturunnya mereka dari pesawat. Bila para jemaah kontingen propinsi lain disambut oleh para pejabat Kanwil Depag atau Pemda setempat, agak istimewa, para jemaah haji asal Aceh dijemput langsung oleh Muhammad Maftuh Basyuni, Menteri Agama RI, dari Kabinet Indonesia Bersatu.

Kata-kata hiburan yang diucapkan sang menteri akhirnya tinggal kata-kata belaka. Tembok ketabahan yang mereka bangun dengan susah payah itu akhirnya roboh, begitu mendengar kabar tentang sanak-saudara yang wafat, tempat tinggal yang luluh lantak, dari tuturan kerabat atau tetangga yang datang menjemput. Menyaksikan kampung halamannya porak poranda karena bencana Tsunami 26 Desember 2004 lalu, para tetamu Allah asal Aceh itu, tak kuasa lagi menahan tangis. “Keinginan untuk bertemu orang yang dicintai sirna sudah. Kerinduan akan teduhnya tempat tinggal harus pupus. Semuanya sudah rata-rata…” tulis wartawan PR, Undang Sudrajat, dalam reportasenya.” Air zamzam dan berbagai cendera mata untuk sang terkasih, buah tangan dari tanah suci, tak tahu harus diberikan kepada siapa. Suami, istri, anak, cucu, bahkan tetangga telah lenyap. Kampung halaman hilang. Bagi mereka, Aceh persis seperti halaman buku gambar yang lukisannya sudah terhapus.”

Isak tangis para duyufur Rahman itu lalu memenuhi ruang-ruang, kamar-kamar penampungan Asrama Haji, kota Banda Aceh. “Ya, Allah. Saya ini mau pulang kemana ?” pekik seorang Ibu yang kini sebatang kara, ditinggalkan anak dan suami tercinta, buat selama-lamanya.

Nurul, saat ini mungkin tengah mengenakan kerudung Parsi-nya, sebelum mengikuti pengajian Jum’at malam, bersama Ayah dan Ibunya yang telah kembali menyandang gelar haji. Begitupun, Ibu Rusidah. Saat ini, ia mungkin tengah meneteskan air zamzam di mulut mungil cucu pertamanya, sebagaimana ia bernadzar sebelum berangkat ke tanah suci. Nurul, Ibu Rusidah, besar kemungkinan telah berkumpul bersama orang-orang yang dikasihi.Mereka tidak tinggal di tanah bencana. Jauh, dari Sumatera, dari Nanggroe Aceh Darussalam.

Ketika Nurul selesai berhias, mengenakan kerudung Parsi oleh-oleh sang Ibu. Ketika Ibu Rusidah tersenyum puas, menyaksikan lidah cucunya bergerak-gerak setelah ditetesi air zamzam yang sejuk. Dalam satu kamar Asrama Haji yang redup, seorang perempuan setengah baya mungkin sedang duduk merenung. Dalam terawang, matanya berkaca-kaca. Mulutnya bergetar. Mengucap satu-satu nama mereka yang dicintai, yang telah pergi, bersama deburan ombak tsunami. Botol minyak misyk yang wangi, untaian tasbih dari biji-biji kurma, masih terkemas rapi didalam tas bawaannya. Kacang arab, kurma Rasul, masih utuh dalam bungkus plastik, entah siapa yang akan menikmati. Tak ada suami, anak, cucu, menantu tercinta, yang diharapkan bisa didongengi, mendengarkan kisah perjalanan sucinya, antara Mekkah dan Madinah. Keramaian Masjidil Haram, ketakjubannya kala menatap Ka’bah, airmatanya di Maqam Ibrahim, perjuangannya di Jumratul Aqabah, menjadi kenangan yang tak terucapkan. Mungkin tak pernah terceritakan. Dan di kamar yang mulai sunyi menuju malam itu, perempuan setengah baya mungkin bertanya-tanya : apakah arti kepulangan.

Mengapa Harus Nanggroe ?

Minggu pagi, 26 Desember 2004, tsunami menyapu dataran Nanggroe Aceh Darussalam. Dihadapan televisi kita terpekur. Mata kita, mata anak bangsa yang perih. Perih menyaksikan tubuh anak-anak yang lahir dari rahim Cut Nyak, bergelimpangan di atas bumi sendiri. Dada kitapun sesak. Sebab teraba duka di hati Pa’Nek dan Ma’Nek yang belum lagi reda, kini sudah diterpa bencana lagi. Inilah puncak penderitaan saudara-saudari kita di bumi Nanggroe. Bumi yang dari rahimnya telah melahirkan syuhada-syuhada agung. Bumi yang telah membesarkan een-national heldenpaar (pasangan pahlawan nasional) Indonesia : Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien dari Meulaboh.

Franky Sahilatua menulis lagu “Duka Bangsa”, sebagai dedikasi atas terjadinya musibah besar ini. Ustadz Arifin Ilham dan para jemaahnya menangis sambil berdoa : “…semoga mereka yang pergi meraih ridha-Nya, memperoleh pengampunan-Nya.” Dan malam 27 Desember 2004 tadi, di studio Rajawali Citra Televisi, dering telepon dan faxcimile tak henti-hentinya mengirim ungkapan bela-sungkawa, ketika salah seorang ulama besar Indonesia, K.H. Abdullah Gymnastiar, mencoba menyusun kata-kata penghiburan dalam ucap terbata-bata. Indonesia berkabung. Mulai tanggal 27 hingga 30 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan hari berkabung nasional. Negeri ini sedang “menangis.”

Karamnya kapal laut, jatuhnya pesawat terbang, bisa kita cari apa yang menjadi faktor penyebabnya. Teror bom, perang saudara, musibah kebakaran, adalah bencana yang bisa kita usut siapa dalangnya. Dengan paparan teliti, Z.A. Maulani mengira dana keuangan Barat telah membiayai gerakan insurgensi GAM di Aceh, untuk memanipulasi konflik domestik yang menyengsarakan rakyat Nanggroe. Setelah membaca tulisan mantan Kabakin yang dikumpulkan dalam sebuah buku (Zionisme : Gerakan Menaklukkan Dunia) itu, kita bisa cepat menyimpulkan : konspirasi Barat berperan banyak dalam konflik di Aceh.

Ya, serapat apapun manusia, jejak-jejak perbuatannya masih meninggalkan jejak untuk dilacak. Tapi peristiwa bencana yang terjadi atas ketentuan-Nya, tentulah membutuhkan waktu, hati, dan pikiran yang jernih untuk menguak hikmah dibalik itu. Kita perlu mempelajari pengalaman serupa, membuka lembar demi lembar firman Allah, untuk menginsyafi apa pasal Allah menurunkan bencana alam di bumi Aceh, di bumi pertiwi, tempat kita berteduh dan berhandai antar sanak-saudara.

---

“Sungguh pada kisah-kisah mereka adalah pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang diada-adakan, tetapi membenarkan kitab terdahulu dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf : 111)

Demikian firman Allah yang menyuruh kita mengkaji peristiwa yang terjadi pada masa-masa kenabian. Kisah pengasingan Adam dan Hawa, pertarungan antara Daud dan Jalut, terbakarnya birahi Zulaikha oleh karena melihat kerupawanan Yusuf, kisah Ibrahim yang diperintahkan memenggal kepala putranya, Ismail, adalah sebagian kisah dari masa kenabian yang mengandung hikmah yang dalam. Selain kisah-kisah balada tersebut, Al-Qur’anpun mencantumkan peristiwa-peristiwa bencana besar, tentang kemusnahan suatu kaum, akibat kelalaian mereka dari mengingat Allah. “Maka mereka mendustakan Nuh , kemudian kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).”firman Allah dalam Al-Qur’an, Surat Al-A’raf, ayat 64, tentang hukuman yang ditimpakan-Nya kepada kaum yang lalai dari seruan Nabi Nuh a.s. “Kaum Luthpun telah mendustakan ancaman-ancaman ( Nabinya ). Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka ), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing. Sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan sesungguhnya dia ( Luth ) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu,”firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Al-Qamar, ayat 33-36, tentang azab yang memusnahkan seisi kota Sodom dan Amurah. Kisah banjir Nuh, kisah terbaliknya dataran Sodom-Amurah itu, merupakan kisah pengazaban Allah terhadap sebuah kaum. Allah murka kepada seluruh kaum, karena mereka, nyaris seluruhnya, telah menyepelekan peringatan Allah yang disampaikan oleh para utusan-Nya.

Kedzhaliman seorang penguasapun bisa mengundang kemurkaan Allah. “(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami Tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang dzhalim,” firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Al-Anfal, ayat 54, tentang hukuman yang ditimpakan kepada Fir’aun, Pharaoh penguasa Mesir.

Firman-firman diatas mengungkapkan kepada kita, bahwasanya bencana alam yang menimpa di jaman kenabian itu, disebabkan oleh kemurkaan Allah terhadap kemaksiatan yang dilakukan suatu kaum atau keangkuhan para pemimpinnya. Menyimak peringatan Allah tersebut, atas terjadinya bencana Alam di Nanggroe dan sebagian Sumatra Utara itu, rasa-rasanya kitapun perlu bertanya : adakah kemurkaan alam disebabkan oleh kedhaifan kita sebagai suatu kaum ?Adakah kemurkaan alam ditujukan sebagai peringatan untuk para pemimpin bangsa, yang menurut pandangan-Nya tidak sungguh-sungguh serius, menangani kejahilan dan kedzhaliman manusia yang kerap menyusahkan rakyat serambi Mekkah ?

---

Dalam “Sejarah Kecil : Petite Histoire Indonesia”, Rosihan Anwar mengutip paparan Almarhum Prof. Dayan Dawood, tentang kondisi Aceh semenjak pasca-kemerdekaan. Gambaran Prof. Dayan Dawood tentang Aceh, salah satu pembicara dalam seminar : “Indonesia Pasca Pemilu : Bagaimana dengan Reformasi ?” yang diikuti Rosihan Anwar itu sungguh-sungguh memprihatinkan. Ia menceritakan betapa rakyat Aceh yang merindukan penerapan syari’at Islam, dikhianati oleh pemerintah pusat yang ketika itu dikepalai oleh Soekarno. Teuku Daud Beureuh memimpin perlawanan terhadap pemerintahan pusat selama 1950-1960, dikarenakan niat rakyat Aceh untuk memberlakukan syari’at Islam dihalang-halangi Presiden Soekarno. Budi rakyat Aceh yang telah rela menyumbang harta bendanya untuk dibelikan pesawat kepresidenan RI-1 Seulawah itu, telah dibalas dengan “air tuba.” Keinginan menerapkan syari’at Islam disinyalir pemerintahan pusat sebagai langkah separatis. Maka, tidak hanya peluru pasukan Jenderal Van Heutsz saja yang tercatat pernah mengincar tubuh para patriot Aceh. Pejuang Aceh itu kemudian banyak menemui syahid, setelah diterjang peluru tentara republik, yang notabene adalah saudaranya sendiri.

Di zaman Orde Baru, hasil pengolahan gas alam Arun yang dikelola Pertamina bersama America Mobil Oil, mengalir ke kas pemerintahan pusat, ditransfer ke bank-bank luar negeri. Alih-alih menikmati kekayaan alamnya, empat puluh persen rakyat Aceh dibiarkan termangu dalam kemiskinan. Gerakan Aceh Merdekapun lahir. Untuk menumpas gerakan separatis tersebut, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan DOM (Daerah Operasi Militer). Lebih dari 800 orang tewas, dua puluh ribuan orang menjadi difabel, ribuan anak menjadi yatim-piatu, dan banyak saudari-saudari kita di sana terpaksa : melahirkan bayi hasil perkosaan ! Trauma DOM bersemayam terus di tanah rencong. Alhasil, pada era reformasi, personil TNI malah lebih ditakuti daripada pasukan GAM. Dan di era reformasi ini juga, para pelaku kejahatan perang di Aceh semasa DOM diberlakukan malah luput dari pengusutan. Tak ada usaha untuk menegakkan kebenaran dengan sungguh-sungguh, di bumi Nanggroe Aceh Darussalam.

---

Membaca penderitaan rakyat Nanggroe yang tertanggung sekian lama itu, mendengar tragedi bencana alam yang menerpa kemarin minggu, kitapun sibuk menebak apa makna dibalik musibah nan dahsyat ini. Sesaat setelah tsunami melanda, televisi- radio-koran-situs internetpun terus memuat berbagai tanggapan yang berusaha menafsirkan makna dibalik bencana. Seorang ibu rumah tangga, seorang karyawati BUMN, seorang seniman, seorang ulama, hingga Presiden republik inipun berupaya menemukan ucap, menulis sekalimat penafsiran, agar terjawab tanya : mengapa harus Nanggroe ?

Jawaban itu takkan pernah kita temukan dalam diskusi ramai atau sentimen perasaan sendiri. Jawaban itu takkan pernah kita temukan dalam gejala alam dan perputaran cuaca. Dalam raut anak-anak Cut Nyak yang “pergi”, dalam wajah yang tak tergenang rasa sakit atau nyeri itu, barulah kita bisa menemukan sedikit jawab, bahwasanya Allah telah mengangkat bocah-bocah suci itu menuju surga. Membebaskan mereka dari rasa takut akan desing peluru, rasa takut dari kematian Cut Nyak atau Pak Nyak-nya, karena peluru prajurit GAM atau pisau tentara. Dalam raut Pa’Nek-Ma’Nek yang terkubur di bawah reruntuhanpun kita akan menemukan sepenggal jawab. Bahwasanya, Allah telah membebaskan mereka dari kenakalan “anak-cucu”-nya yang senang berseteru. Menyelamatkan mereka dari tipuan orang luar pulau, orang-orang asing yang beramah-tamah, sebelum menghisap kekayaan buminya. Bencana ini bukanlah azab. Mungkin, Allah sudah tidak sabar untuk memeluk tubuh-tubuh suci, tubuh-tubuh renta itu, yang telah bersabar atas dera dari orang-orang yang berdalih : kita semua adalah saudara !

Save Our Forest

Pada tanggal 20 Desember 2004, Jaya Suprana, pimpinan Museum Rekor Indonesia, menyematkan penghargaan kepada Ghefira Nur Fatimah, penulis buku "Jalan-jalan Ke Hutan." Gadis cilik putri dari KH Abdullah Gymnastiar itu, dinobatkan sebagai penulis buku termuda dalam sejarah dunia penerbitan Indonesia. Beberapa media cetak memampang gambar senyum gadis cilik Ghefira, berdiri disisi Ayahnya yang bangga, sewaktu menerima penyematan yang sangat suprematif itu.

"Jalan-jalan Ke Hutan" adalah buku kumpulan cerita pendek yang dengan bersahaja mencoba bercerita kepada kita, tentang kesan seorang anak terhadap alam, pengetahuan pertamanya atas relasi antara alam dengan Sang Pencipta ; relasi alam dengan mahluk yang berdiam didalamnya. Keaslian hutan yang 'perawan', lengkungan sungai yang berkilat oleh sorot matahari, satwa-satwa berkarakter khas, dideskripsikan begitu rupa dalam teks-teks sederhana namun mencerahkan ini. Para pembacanya sedikit banyak akan memahfumi : penulis cilik ini terlibat begitu intens dengan pengalaman-pengalaman yang direkamnya melalui tulisan, pada lembar demi lembar halaman buku antologinya.

Pengalaman Ghefira dalam buku yang ia tulis, bisa jadi merefleksikan rata-rata sensuous anak-anak segenerasinya terhadap alam. Bahkan, mungkin serupa juga dengan rata-rata sensuous kita yang terpaut jauh dari usia mereka. Bukankah kebanyakan kita pernah merasai udara segar pegunungan, hangat mentari pedesaan, atau teduhnya pohonan di hutan ? Atau mungkin juga kita pernah terhanyut oleh bunyi gesek ranting-dedaunan, sewaktu sepoi angin menghembuskan rumpunan dan batang-batang bambu.

Kesan Ghefira dan anak-anak segenerasinya terhadap keasrian alam, kesan kita atas keaslian dan kemurnian hutan, mungkin tak akan pernah menjadi milik generasi mendatang. Kendati Indonesia memiliki hutan hujan tropika terluas ke-3 setelah Brasil dan Zaire, meskipun hutan hujan tropika dunia 10 persen-nya melintang sepanjang garis khatulistiwa kita, namun fakta menunjukkan bahwa hutan hujan kita kini berangsur-angsur punah. Setelah hektaran pohon ditumbangkan, ketika bermacam species hewan dibiarkan musnah atau dimusnahkan, bukan tidak mungkin kelak hutan akan tinggal hanya sebagai kenangan.

***

Proses kerusakan (pengrusakan ?) hutan berawal dari diberlakukannya kebijakan pemerintah yang memungkinkan pihak asing ikut serta dalam pengeksploitasian sumber daya hutan kita. Penebangan hutan yang tak terkendali itu dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dilanjutkan hingga medio 1970-an, dalam skala yang lebih besar. Dan ketika pemerintah mengeluarkan ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri pada tahun 1990, terjadilah land clearing. Pada waktu itu, rejim ORBA menentukan kayu meranti sebagai komoditas unggulan untuk menggembungkan 'keuangan negara'. Hutan kita betul-betul terkepung oleh aksi eksploitasi, aksi destruktif, yang pantas digolongkan pula sebagai aksi penjarahan. Pemerintahpun semakin sulit melakukan gerak pengendalian atau tindak pengawasan, sebab minimnya pengetahuan dan jumlah aparatur yang siap menangani masalah Kehutanan hutan hujan tropika.

Dani Wahyu Munggoro, Direktur LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia), mengemukakan : "Akumulasi eksploitasi yang ekonomisentris itu menimbulkan masalah-masalah sosio-ekologis yang masif di seantero Indonesia." Mengutip artikel Ghost Of The Forest, tulisan Michael S. Serril dalam Time Special Issue ( November 1997), beliau menambahkan bahwasanya kampanye pelestarian hutan dan konvensi-konvensi internasional yang digagas dan dilakukan, tidak mampu membendung laju kerusakan hutan Indonesia seluas 863.000 Ha per tahun. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengklaim angka yang lebih besar dari itu. Organisasi lingkungan yang dikenal militan ini mencatat laju kerusakan hutan periode 1985-1997 sekitar 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang dipublikasikan Badan Planologi Departemen Kehutanan, mengklaim 101,73 juta hektar hutan dan lahan yang rusak. Dan seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan.

Dengan luas kerusakan lahan yang cenderung melebar setiap tahunnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami kerusakan hutan terparah di dunia, pada saat ini. 12 % mamalia ; 16% spesies reptil dan ampibi ; 1.519 spesies burung ; 25% spesies ikan ; yang sebagian diantaranya merupakan endemic species (hanya terdapat di daerah tersebut), yang tersebar di seluruh hutan hujan tropika kita, ikut terancam musnah. Disamping dampak ekologis tersebut, 250 kelompok etnik yang berdiam di kawasan hutanpun kini rentan dari kepunahan. Mereka yang menjadikan hutan sebagai 'rumah' bagi jiwa dan tubuhnya itu, kelak bisa kehilangan sumber-sumber primer yang selama ini menunjang aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Sumber makanan, sumber air, juga sumber obat-obatan, tak lagi mencukupi kebutuhan seperti waktu-waktu sebelumnya. Penderitaan merekapun menjadi lengkap. Ketika kekhawatiran akan terjadinya kebakaran hutan, kejadian bencana alam, membuat kehidupan mereka jauh dari suasana tenang dan perasaan tenteram. Kekhawatiran itu sangat beralasan. Mengingat Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana sendiri mencatat : sepanjang tahun 1998 sampai pertengahan 2003, telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, yang menelan 2022 korban jiwa dengan angka kerugian milyaran rupiah. 85% dari kejadian bencana tersebut berupa banjir dan longsor, yang ditengarai penyebabnya adalah kerusakan lahan hutan.

***

Sungguh ironik. Disaat spesies hewan dan tumbuhan kita semakin langka, ketika saudara-saudara kita di pedalaman makin terasing dan tergusur dari habitatnya, dan dikala banyak daerah di seantero Indonesia 'menikmati' banjir kiriman karena kerusakan hutan, segelintir oknum aparat, cukong penebangan liar, dan beberapa negara tetangga menikmati berkah hutan kita dengan leluasa. Dua bersaudara Wong Sie King dan Wong Sie Tung, contohnya. Kali ini mereka pasti tengah leluasa menikmati laba, sebagai cukong kayu curian bakal ekspor, dari hutan Papua. Operasi Lestari II-pun belum berhasil mencekal mereka. Belum berhasil menangkap 'para pelindung' kegiatan Illegal Logging yang mereka sponsori, yang dicurigai berasal dari kalangan aparatur kita sendiri.

Selain keuntungan perseorangan, RRC, Malaysia, dan Afrika dipastikan ikut menikmati berkah kayu hasil hutan kita. Berdasarkan data yang dimuat oleh Tempointeraktif, ketiga negara itu paling banyak menampung atau menerima kayu ilegal dari Indonesia. "Ditemukan banyak kayu jenis meranti dan merbau yang di Indonesia sendiri sudah diharamkan penebangannya."papar Menteri Kehutanan M.S. Kaban berkenaan dengan hasil temuan instansinya di RRC, Malasyia, dan Afrika. "Di RRC jumlah kayu meranti dan merbau ilegal dari Indonesia mencapai 98 juta meter kubik. Itu cukup untuk stok industri di Cina selama 15 tahun. Sungguh ironis." keluhnya lagi.

Luther Kombong, salah satu anggota DPD asal Kaltim, mengatakan kepada Suara Pembaruan, bahwasanya illegal logging merupakan masalah yang sudah terlalu berlarut dan dampaknya bisa lebih besar dari korupsi. ''Kalau korupsi dampaknya negara dirugikan. Tetapi illegal logging, selain merugikan negara, lingkungan hidup jadi ikut rusak dan akan sulit diperbaiki.'' Luther Kombong lalu mengusulkan supaya Presiden segera mengambil upaya untuk memberantas kegiatan illegal logging tersebut. Beliau mengusulkan, operasi penertiban terhadap pelaku illegal logging perlu dilakukan dengan melakukan semacam operasi gabungan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal maret ini, mengeluarkan instruksi pembentukan tim khusus untuk menangkap para pelaku dan otak kejahatan pencurian kayu di Papua dan Kalimantan. Tampaknya, SBY sudah gerah menyaksikan keterlibatan aparatur (pemerintahan, kepolisian, militer) dalam sindikat pencurian kayu. Operasi Lestari II yang melibatkan Polri, TNI, Direktorat Bea Cukai, Imigrasi, Kejaksaan, dan Departemen Kehutananpun digelar bulan maret ini. 1040 personil diterjunkan ke lahan-lahan sasaran di Papua dan Kalimantan, dengan didukung oleh budget sebesar 12 milyar.

***

Pada 5 Juni 2003, tepat disaat peringatan Hari Lingkungan Hidup, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama kalangan LSM dan Departemen Kehutanan membuat pernyataan bersama untuk memberantas illegal logging. KH Sahal Mahfudz sendiri yang menandatangani dan ikut mengutuk tindak penebangan liar yang merusak sebagian besar hutan kita, dan menghadapkan kita pada bencana yang nyata. Diwaktu-waktu belakangan ini, ketika kejadian bencana alam menjadi buah bibir dan seakan sudah biasa terjadi dimana-mana di seantero negeri ini, sungguh berguna untuk merenungkan kembali makna dari peran aktif MUI, yang dipelopori oleh Rais 'Aam PB Nahdlatul Ulama tersebut.

Dari pernyataan yang dibuat MUI bersama Dephut dan beberapa LSM lingkungan hidup 2 tahun lampau, kita diajak untuk merenungkan manfaat jasmaniah maupun manfaat ruhaniah daripada kelestarian alam dan lingkungan hidup. Dari segi materiil-sisi jasmaniah, alam memberikan manfaat konkret, seperti : membuat pernafasan kita lega ; membuat sirkulasi darah kita lancar ; membuat mata kita cerah memandang ; dan membuat suhu tubuh kita menjadi seimbang, apabila alam tempat kita bertinggal bebas dari polusi dan kerusakan. Dari sisi ruhaniah, selain sensasi ketenangan-ketenteraman-kenyamanan yang berpengaruh pada mood dan enlightment, seperti yang dideskripsikan oleh Ghefira Nur Fatimah dalam bukunya "Jalan-jalan Ke Hutan", alam berfungsi sebagai media kita dalam proses ma'rifatullah : proses mengenal Allah Azza Wa Jalla. Pendapat itu dikuatkan oleh risalah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab dalam salah satu bait kitab Tsalatsatul Ushul, yang terjemahannya : 'Apabila Anda ditanya, dengan apa Anda mengenal Rabb Anda ? Maka jawablah, dengan ayat-ayat dan mahluk-mahluk-Nya. Diantara ayat-ayat-Nya adalah malam, siang, matahari dan bulan. Diantara mahluk-mahluk-Nya adalah tujuh langit dan tujuh bumi beserta siapa saja yang berada didalamnya serta apa saja yang berada diantara keduanya.'

Alam beserta mahluk yang bertinggal didalamnya, adalah bagian dari ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat tersebut menandakan kekuasaan dan isyarat eksistensi Allah SWT sebagai Sang Khaliq. Menjaga kelestarian alam, pada umumnya, menjaga kelestarian hutan, pada khususnya, dengan begitu berarti usaha mengabadikan dan melestarikan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Upaya pengrusakan dan pengabaian terhadap alam, dengan demikian, bisa dianggap sebagai upaya penghapusan memori ketauhidan dari nalar dan perasaan kita. Tanpa memori ketauhidan sebagai bagian dari fitrahnya, manusia akan tersesat, hilang keseimbangan, sehingga akhirnya menemui kebinasaan.

Kita sebagai saksi dari kerusakan dan penjarahan terhadap alam negeri ini, tentu harus menyikapi masalah kelestarian alam ini dengan renungan khusyuk dan tindakan serius. Kita harus mempertimbangkan : 'Generasi Ghefira', generasi setelahnya, untuk bisa mewarisi kekayaan dan keindahan alam demi kemaslahatan hidupnya dimasa-masa yang akan datang. Disamping mewarisi berkah yang terkandung didalamnya, generasi merekapun berhak mendapatkan fasilitas atau media yang ramah dan konkret, agar mereka bisa mendekatkan diri dan mengenali Tuhannya dengan cara memandang ayat-ayat kauniyah-Nya. Apa jadinya jika kelak hutan dan alam kita luluh lantak ? Hendak kemana anak-cucu kita memandang ayat-ayat kauniyah yang menandakan keberadaan-Nya ?

Ya ! Kita tentu tidak ingin terus menerus membenahi kota yang hancur sebab bencana alam, sementara negara-negara penampung kayu jarahan menikmati berkah meranti dan merbau, hasil bumi kita sendiri. Ya ! Kita tentu tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat dunia yang pantas dikasihani, sementara kekayaan alam yang terkandung di laut, tanah dan udara kita, membuat segelintir 'pengkhianat' dan negara-negara lain menjadi kaya dan digjaya. Ya ! Kita tentu tidak ingin ayat-ayat Allah (baca:kauniyah) tak terbaca oleh anak dan cucu kita, sebab alam pudar keindahannya, tak elok untuk dipandang mata.

Maka lerailah tangan-tangan mereka yang jahil itu. Yang hendak menghapus tanda dan isyarat keberadaan-Nya. Yang Dia pahatkan pada sekujur belukar dan belantara hutan Indonesia : 'rumah' bagi raga dan jiwa kita sepanjang masa.

Film Tak Pernah Pergi

Ajang itu kembali digelar. Para undangan menghadap sebuah panggung terbuka, menikmati sepoian angin yang berhembus dari laut, seberang Pantai Ancol malam hari. Tamu-tamu istimewa malam itu adalah para pekerja dan pengamat film Indonesia. Orang-orang yang telah menunggu malam itu selama dua belas tahun lamanya.

Semenjak tahun 1992, ketika suami-istri Jamal Mirdad dan Lidya Kandau berhasil menyandingkan Piala Citra, baru malam itu Festival Film Indonesia (FFI) digelar lagi. Tanpa karya Wim Umboh, Nyak Abbas Akup, atau film operet Sjumandjaja. Tanpa Soekarno M. Noer, Benyamin Sueb, atau nama Teguh Karya tertera dalam kertas buku undangannya. Semenjak master of ceremony membuka acara dengan sejenak mengheningkan cipta, suasana rasa-rasanya memang berbeda dengan dua belas atau dua puluh tahun lampau. Banyak yang berubah, pada malam anugerah Citra kali ini.

---

Seorang lelaki muda berambut pendek, bertampang klimis, dipanggil untuk menghampiri panggung malam itu. Kembanglah senyumnya, ketika Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik diserahkan kepadanya. Seorang wanita cantik, bersanggul modern, juga dipanggil ke atas panggung malam itu. Senyumnya rekah, suaranya renyah, membilang “terima kasih”, setelah Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik disematkan kepadanya. Itulah kegembiraan yang sama, seperti yang pernah dirasakan seorang Rano Karno, Deddy Mizward, atau seorang Darussalam. Sebuah kegembiraan yang sama, seperti yang pernah dirasakan seorang Christine Hakim, Meriam Bellina, atau seorang Yenny Rachman. Tentu saja, kendati malamnya tak sama, kendatipun suasananya berbeda dari waktu-waktu terdahulu, kegembiraan yang mencuat masih kegembiraan yang itu-itu juga. Kegembiraan karena kerja keras telah membuahkan pentahbisan. Pentahbisan yang tak terukur oleh uang, penobatan yang hanya bisa diukur oleh kepuasan hati dan halus perasaan.

Setelah kerja keras dan kepuasan hati, para pemegang anugerah Citrapun seharusnya berkaca ke masa-masa sebelumnya. Masa kemarau panjang dua belas tahun, ketika para pengunjung bioskop Indonesia hanya berdecak mengagumi akting aktor yang tidak bercakap dalam bahasa sendiri. Masa-masa ketika bioskop dan televisi dipenuhi oleh wajah Eropa, Latin, atau India. Dalam hari-hari itu, anak-anak muda, konsumen utama tayangan televisi dan film bioskop, mulai beringsut dari kebudayaan negeri. Karena lebih banyak menatap ikon budaya asing yang dihembuskan lewat tayangan layar lebar dan layar kaca, anak-anak muda kita perlahan mencampakkan kepribadian diri. Mereka menjadi tak ubahnya seorang gemuk bercelana sempit, atau seorang kurus berkemeja gombrang. Itulah perumpamaan bagi generasi muda kita yang kehilangan watak dan kepantasan, sebab kehilangan kepribadian asli.

---

Dalam jangka dua belas tahun ini, film Indonesia sesungguhnya tidak benar-benar mati. Beberapa film Indonesia masih diputar oleh bioskop-bioskop kelas bawah. Dengan judul birahi dan pose seronok yang berkibar diantara gelaran dagangan kaki lima, film-film picisan itu masih rutin dijenguk, kendati oleh sedikit penonton. Dan pada tahun 2004 ini, melihat data Associated Press : produser film lokal seronok itu boleh membanggakan kontribusi yang diberikannya. Berkat sinergisitas mereka dengan core "bisnis birahi" lainnya, kini, Indonesia menjadi surga pornografi terbesar nomor 2 di dunia !

Atas dampak negatif dari potensi tutorial sebuah film, Aa Gym, salah seorang ulama modern Indonesia, pernah memperingatkan pihak-pihak yang terlibat dalam peluncuran film berjudul provokatif : "Buruan Cium Gue !" Riuhnya suara yang pro terhadap klaim tersebut, segera ditimpali oleh teriak kontra yang tak kalah riuh. Aa Gym dan para pendukungnya ditengarai telah mencampuri urusan kreatifitas, dan merentangkan tali kekang yang jauh lebih menjerat dari Lembaga Sensor Film (LSF). Himbauan itu ditentang oleh sekumpulan orang yang mengklaim diri sebagai pejuang "kemerdekaan berpikir dan berkreasi". Sinyal kebenaran itu tak sungguh-sungguh ditangkap dengan akal jernih dan prasangka baik. Maka, menyusul "Buruan Cium Gue", film "Virgin" yang jauh lebih panas dari pendahulunya, diluncurkan Star Vision pasca ramadhan tahun ini.

---

Dalam rentang sejarah perfilman Indonesia, larisnya sebuah film sebenarnya tidak ditentukan oleh muatan "birahi" semata. Dengan telaah yang teliti, kita akan menemukan bahwa belum ada film-film seronok yang melebihi kesuksesan "Tjoet Nyak Dhien" atau baru-baru ini, "Petualangan Sherina." Estetika, tema cerita, penggarapan yang serius, nyata-nyata lebih menentukan ketimbang pengumbaran syahwat atau serunya adegan laga. Kesuksesan "Tjoet Nyak Dhien" dan "Petualangan Sherina" dalam raihan penonton, membuktikan asumsi tersebut.

Jauh di barat sana, film-film pengumbar birahi juga tidak identik dengan ukuran kesuksesan dalam jumlah penonton. "Forrest Gump" film yang bertemakan kehidupan seorang idiot, "Gladiator" film dengan setting sejarah Romawi, "Lord Of The Rings" film kolosal yang diangkat dari novel Profesor Tolkiens, terbukti lebih diminati daripada film percintaan remaja atau film laga yang mencuatkan efek teknologi. Dalam ajang Piala Oscar ke-3 film tersebut juga mampu menyabet berbagai kategori, selain kategori bergengsi : The Best Picture.

Pengalaman Oscar mengajarkan kepada kita, bahwa apresiator dan pengamat film barat lebih menghargai film-film dengan tema sosial atau kemanusiaan, daripada film-film yang menampilkan realita kekerasan atau penyimpangan seksual. Dalam perebutan Oscar tahun 1994, "Forrest Gump" menumbangkan "Pulp Fiction"-nya Quentin Tarantino, sebuah film yang mengambil tema psikopatik dan kekerasan seksual. Dan pada tahun 2001, "Beautiful Mind" berhasil menyisihkan "Moulin Rogue", sebuah film dengan setting rumah pelacuran di era "wild-wild west." Lantas, darimana produser kita mengambil referensi, sebenarnya ?

---

Mulai tahun 2000, ditandai dengan kiprah sutradara muda Riri Riza dengan filmnya “Petualangan Sherina”, dunia perfilman Indonesia berangsur meninggalkan kecenderungan buruknya. Karya-karya serius mulai bermunculan. Poster film Indonesia dapat berkibar di bioskop-bioskop papan atas. Produser dan sutradara muda lainnya, Aria Kusumadewa, menjadi panutan para peminat film independen. Bak gerilyawan, film-filmnya yang mengangkat tema tak lazim, ditonton, didiskusikan, mulai dari kampus hingga komunitas-komunitas seni. Festival Film Independen, yang diikuti oleh ribuan judul film produksi mandiri sineas-sineas pemula, rutin diselenggarakan setiap tahun.

Mengisi era krisis tersebut, Garin Nugroho, sutradara dan produser garda depan Indonesia, menorehkan prestasi gemilang di berbagai event penghargaan internasional. "Cinta Dalam Sepotong Roti", "Bulan Tertusuk Ilalang", "Dongeng Kancil Tentang Kemerdekaan", dan beberapa film lainnya berhasil mengekspos kehidupan dan panorama Indonesia di luar negeri. Berkat kerja kreatifnya itu, wajah film Indonesia masih bisa eksis dihadapan pemirsa dunia. Sineas garda depan yang tumbuh sendiri diantara kecenderungan buruk dan kelesuan perfilman Indonesia ini, menjelang digelarnya FFI 2004, menghembuskan angin segar lagi lewat karya karya emosionalnya : "Rindu Kami Pada-Mu." Film tersebut menuai pujian dari para pengamat, cendekiawan, serta para ulama.

Data-data tersebut, rentang penantian itu, menunjukkan kepada kita bahwa penyangga kehormatan film Indonesia bukanlah film-film asal jadi. Bukan film-film yang menstimulus nafsu birahi, atau film sarat adegan laga yang menonjolkan kekerasan. FFI 2004 terselenggara karena mutu-mutu film Indonesia pada periode belakangan menunjukkan skala membaik. Rudy Soedjarwo, Dian Sastrowardoyo, Tora Soediro, Nia Dinata, Riri Riza, dan generasi baru perfilman Indonesia yang ditahbiskan sabtu lalu, pasti menyadari betul hal itu. Anugerah Citra yang mereka terima adalah sebuah reward atas pengabdian. Namun begitu, ini hanyalah sekedar sebuah awal. Pengabdian mereka masih perlu dibuktikan pada waktu-waktu mendatang. Karena mereka telah ditahbiskan sebagai para pengabdi, hendaknya mereka menyadari bahwa karya-karya berikutnya haruslah memuat pesan-pesan tuntunan. Tuntunan apa ? Tentu saja tuntunan kebudayaan. Realita itulah yang sangat prioritas sekarang ini, mengingat penyakit masyarakat kita berpangkal dari keruntuhan moral dan kemiskinan akan budaya. Film sebagai benda budaya menentukan ke arah mana suatu masyarakat hendak bergerak. Potensi tutorialnya mesti dikelola dengan kerja kreatif, kerja intuitif, dan sikap optimisme, agar mampu mengedukasi dan mengilhami masyarakat supaya membangun tatanan kehidupan ke arah lebih baik. Hanya dengan kesungguhan itulah sebuah film tak akan pernah pergi. Dari ingatan pemirsa, pekerjanya, dan ingatan dunia.

Thursday, July 07, 2005

Parit Van Java

Sejak pukul 16.00 WIB, hari minggu lalu (20 Februari 2005), seluruh wilayah Bandung diguyur hujan besar. Petir sahut-menyahut membuat kecut anak kecil, membikin banyak penduduk khawatir. Langit sudah gelap pada minggu sore itu. Pekat sekali. Dan di jalan-jalan utama, para pengendara yang baru selesai berakhir pekan, terjebak dalam banjir dan kemacetan.

Biasanya hujan besar turun cuma sesaat. Tapi sore itu, air bak tumpah begitu saja dari langit. Gelontoran air yang dicurahkan tak kunjung berubah menjadi rintik-rintik. Meluaplah selokan. Menghamburkan sampah plastik : botol air mineral, gelas wong coco, dan wadah pepsi cola. Kemasan minuman itu bergumul diantara cileuncang, air besar dari gorong-gorong kota, yang juga mengandung jaram bangkai tikus dan kotoran manusia. Kota bau anyir. Dan pasir, lumpur, batu, lengket jadi satu. Berserak di badan dan bahu jalan Kota Bandung.

Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB, ketika hujan tak kunjung reda, dan angin berhembus kencang meniup dahan serta batang pohon-pohon besar. Pohon-pohon tua yang lapuk segera bertumbangan. Satu mobil keluarga rusak berat, satu mobil angkutan kota "kehilangan moncong", dan di jalan-jalan utama kota, sampai menuju daerah kabupaten, pohon tua yang tumbang itu melintang ditengah-tengah jalan raya. Lalu lintas terhambat. Sedangkan air bak ribuan pasukan Mongol yang mengepung tembok kota Siangyang ; siap menyerbu masuk dari segala penjuru. Siap membenamkan kota Bandung beserta kabupaten-kabupaten yang padat mengelilingi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, air sungai : Citarum, Cisangkuy, Palasari, Citepus, meluap dahsyat di Bandung Selatan. Air coklat setinggi 30 senti hingga 2 meter membenamkan Kelurahan Pasawahan, Desa Cangkuang Wetan, Desa Dayeuhkolot, dan Desa Citeureup. Di Bandung Timur, anak Citarum : sungai Citarik, Cimande, Cibodas, Citarik, dan Cijalupang ikut meluap dahsyat. Sehingga, dari depan Masjid Raya Rancaekek, bisa disaksikan : air coklat setinggi dada orang dewasa menggenangi jalan, menenggelamkan rumah-rumah penduduk.

Sejak malam kejadian, masyarakat beramai-ramai mengungsi dari rumah mereka yang tergenang air. Dengan cara berperahu, berenang, hingga memanjati pagar-pagar rumah, mereka berusaha keluar dari daerah yang terbenam. Bala bantuan dari kota tidak mudah memasuki kawasan bencana itu. Jalur kabupaten dan kota putus. Kawasan Bandung Selatan terisolir. Tahun ini, banjir yang datang, memang jauh lebih besar dari kejadian tahun sebelumnya.

Angin musibah ternyata tak hanya berhembus di titik selatan dan utara kota. Di sebelah barat Bandung, karena guyuran hujan lebat dua hari berturut-turut, longsor sampah terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwigajah, Cimahi Selatan. Sekitar pukul 02.00 WIB, diawali dengan suara gemuruh yang menggetarkan, gunungan sampah di TPAS itu rubuh, terseret lebih dari 10.000 meter, menabrak rumah-rumah yang ada di sekeliling lokasi. Maka, di Kampung Gunung Aki, Kampung Cilimus, serta Kampung Pojok, puluhan rumah tertutup tanah dan sampah, bersama ratusan warga yang meninggalinya. Diperkirakan, lebih dari seratus orang meregang nyawa dalam kejadian tersebut.

Artikel bertanggal 1 Desember 2004 di situs milik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) sebetulnya telah menjelaskan : ancaman bencana alam di Bandung telah mencapai lebih dari 200 titik. Rata-rata terletak di kabupaten-kabupaten yang mengelilingi Kota Bandung. Kabupaten Bandung merupakan daerah yang memiliki karakter tanah yang gembur. Dampaknya? Memasuki musim penghujan tahun ini, ancaman bencana alam di seluruh wilayahnya mencakup 272 titik. Rinciannya : 81 titik banjir, 185 titik longsor, serta enam titik gempa bumi. Meluasnya ancaman bencana itu, menurut keterangan artikel tersebut, dipicu oleh kerusakan lingkungan serta infrastruktur saluran irigasi.

Pejabat Kepala Kantor Kesbang Linmas Kabupaten Bandung saat itu, Drs. Edin Hendradin, mengatakan," Di lokasi yang rawan longsor, banyak penduduk berumah di pinggir tebing curam. Sementara di lokasi yang rawan banjiran, banyak warga yang tinggal di daerah pinggiran sungai." Edin sendiri menyatakan bahwa pihaknya telah menghimbau masyarakat yang berdiam di kawasan itu untuk lebih waspada, memasuki musim penghujan tahun ini.

"Para aparat Linmas sudah diperintahkan untuk non-stop berjaga-jaga. Kesbang Linmas sendiri sudah menyiapkan alat-alat penanganan bencana. Seperti tenda peleton, perahu karet, mesin penggerak, dapur umum, juga blankar."jelas Edin. "Bahkan, kita juga sudah menyiapkan 11 barak penampungan korban bencana alam. Barak tersebut, kita lokasikan di Dayeuhkolot, Solokanjeruk, Bojongsoang, juga Pangalengan."

Dalam kasus longsoran sampah di TPAS Leuwigajah, warga sekitar sebetulnya pernah diingatkan oleh para peneliti asal LIPI dan IPB, untuk segera pindah dari kawasan tersebut. Gretter Bandung Waste Management Corporation (GBWMC), kantor konsultan Planologi yang sempat melakukan riset di wilayah itupun telah merekomendasikan : sebaiknya warga cepat-cepat direlokasi dari daerah itu. Disebabkan oleh banyak warga yang sudah meninggali kampung sekitar jauh sebelum TPAS ada, serta keputusan relokasi dari Pemkot yang urung dari kejelasan, daerah rawan bencana longsor itu masih juga ditinggali penduduk. Mereka enggan berpindah dari lokasi itu, sampai akhirnya tragedi yang memilukanpun terjadi.

Dari pengalaman bencana banjir dan longsor yang terjadi di kawasan Bandung dan sekitarnya, kita bisa melihat : ketimpangan antara sistem peringatan dan sistem pencegahan/ penanggulangan bencana di lingkungan pemerintah kota. Signal yang sampai sering tidak disikapi secara tanggap dan cepat oleh pihak-pihak terkait. Mungkin padatnya kesibukan, telah mengalihkan fokus aparat bersangkutan dari prioritas yang perlu diseriusi dan ditangani. Mungkin sebab kesibukan pula, aparat terkait tak mampu lagi menentukan skala prioritas. Lantas, pertanyaannya, kesibukan apa yang membuat aparat Pemkot, Pemkab, dan Pemprov lupa, atau bahkan tidak mampu menentukan skala prioritas masalah yang akan ditangani, dari pengalaman bencana banjir dan longsor di Bandung sekitarnya ini ?

Pemerintah beserta warga Bandung dan sekitarnya tampaknya perlu memperhatikan peringatan para pakar dan pemerhati lingkungan, dengan seserius mungkin. Signal-signal dari kalangan para pemerhati tersebut mesti dijadikan pedoman, baik dalam penentuan kebijakan maupun perlakuan warga kota terhadap alam, lingkungan hidup, sebagai naungan tempat mereka tinggal. Peristiwa bencana banjir dan longsor di hari-hari belakangan ini membuktikan betapa warga kota, pemerintah kota, kabupaten, propinsi yang terkait, tidak sungguh-sungguh menyerap dan mengolah informasi dari kalangan periset, pemerhati, yang notabene adalah konsulen lingkungan hidup.

Sikap atensi itu juga yang perlu dikedepankan oleh Pemprov, Pemkot, seluruh warga kota Bandung dalam menyikapi pro kontra seputar pembangunan kawasan Punclut. Bukan tanpa alasan, para pemerhati dan pencinta lingkungan merasa waswas atas lahirnya kebijakan Pemkot Bandung berkenaan dengan pembangunan kawasan Punclut itu. Bukan tanpa pemikiran realistik, mereka mencurigai niatan pihak swasta sebagai pengembang, yang umumnya mengedepankan peraihan laba. Dan bukan tanpa bukti, mereka mengkhawatirkan efektivitas pengawasan dari jajaran pemerintahan. Setidaknya pengalaman bencana banjir dan longsor saat ini, telah menegaskan kebenaran atas kekhawatiran mereka tersebut. Alangkah arifnya jika tidak hanya para pakar dan pemerhati lingkungan saja yang begitu khawatir, bahwa suatu saat kelak Bandung "Parijs Van Java" berganti julukan menjadi "Parit Van Java."

Pasca Kenaikan BBM

Ditengah penolakan Dewan Perwakilan Rakyat dan berbagai elemen masyarakat, Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie mengumumkan kenaikan harga BBM mulai pukul 00.00 WIB, tanggal 1 Maret 2005. Dalam Peraturan Presiden No. 22 / 2005 tentang Pengurangan Subsidi BBM, harga minyak tanah rumah tangga menjadi Rp 700/liter ; harga minyak tanah industri menjadi Rp 2.200 dari Rp 1.800/liter ; harga premium menjadi Rp 2.400/liter dari Rp 1.810/liter, harga solar transportasi menjadi Rp 2.100/liter dari Rp 1.650/ liter ; harga solar industri menjadi Rp 2.200/liter dari Rp 1.650/liter ; harga minyak diesel menjadi Rp 2.300/liter dari Rp1.650/liter ; dan harga minyak bakar menjadi Rp 2.300 dari Rp 1.560/liter. Pemerintah terpaksa mengambil kebijakan menaikkan harga BBM, setelah harga minyak dunia melonjak sekitar U$ 25/ barel menjadi U$ 35/barel. Sehingga, beban subsidi pemerintah atas BBM melonjak dari sekitar Rp 20 triliun menjadi Rp 60 triliun lebih. Kenaikan nilai subsidi sekitar Rp 40 triliun itu tentu saja akan sangat memberatkan beban anggaran pemerintah. Nilai subsidi yang membengkak itu bisa membuat anggaran pemerintahan di akhir tahun mengalami defisit besar.

Tentu saja, banyak elemen masyarakat dan DPR yang sejak jauh hari menolak rencana kenaikan BBM itu, menunjukkan reaksi keras. Fraksi-fraksi di DPR lantas mempertimbangkan rencana untuk menggunakan hak angket pasca pengumuman Peraturan Presiden No.22/2005 itu. Mahasiswa beramai-ramai mendatangi Istana Merdeka sejak pagi hari, dan para pengemudi angkutan kota/desa emoh mengangkut penumpang. Protes keras berlangsung dimana-mana, kendati Menko Perekonomian Aburizal Bakrie mengemukakan bahwa dana kompensasi pengurangan subsidi sebesar Rp 17,8 triliun akan dialokasikan untuk berbagai program pengentasan kemiskinan, peningkatan layanan kesehatan, dan pengadaan sarana-prasarana pendidikan. Kendati Departemen Informasi Dan Komunikasi mensosialisasikan bahwa sekitar 72 persen dari subsidi BBM dinikmati oleh kelompok menengah ke atas, sedangkan kelompok masyarakat bawah hanya menikmati 28 persen dari subsidi tersebut, kenaikan harga BBM tetap membuat gerah sebagian besar masyarakat.

Penolakan DPR dan mayoritas masyarakat terhadap kenaikan harga BBM tercetus dalam berbagai opini. Ada kekhawatiran kenaikan harga yang otomatis mengurangi subsidi, akan membuat masyarakat kian terbebani- semakin terpuruk secara ekonomi. Niat pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM ke sektor kesehatan dan pendidikan sebenarnya memungkinkan untuk bisa dilaksanakan. Tapi mengingat kebutuhan masyarakat lebih besar ada di sektor kebutuhan bahan pokok, keputusan pengalihan subsidi tersebut, dampaknya akan kurang optimal. Lagipula, kenaikan harga komoditas dan jasa sebagai dampak dinaikkannya harga BBM pasti menyebabkan lonjakan harga sembako (sembilan bahan pokok), yang dalam pengalaman kepemimpinan sebelumnya (era Kabinet Persatuan Nasional dan era Kabinet Gotong Royong), sungguh sangat memberatkan rakyat. "Momentum kenaikan BBM untuk saat ini kurang tepat. Kalau ekonomi sudah membaik dan pendapatan masyarakat sudah meningkat, kebocoran sudah bisa diatasi, baru bisa kita pertimbangkan kebijakan itu," pendapat Pjs Presiden PKS Tifatul Sembiring.

Selain opini dalam bentuk kekhawatiran atas efek domino yang bakal ditimbulkan pasca kenaikan harga BBM, sebagian tokoh masyarakat menganggap kenaikan BBM itu sebagai sinyal dari ketidak-mampuan- kepesimisan pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi. Menurut mereka yang berasumsi demikian, kenaikan itu tidak perlu dilakukan seandainya semua dana yang dikorupsi, teristimewa dana BLBI, bisa dikembalikan pada negara. Selain itu, kenaikan BBM juga tidak perlu dilakukan, seandainya pemerintah bisa mengendalikan APBN maupun APBD propinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Konon, saat ini lebih dari 80 persen uang rakyat, baik yang melalui APBN/APBD dihabiskan untuk belanja operasional pemerintahan. Sedang yang tersisa untuk kepentingan rakyat hanya sekitar 20 persen saja.

Dari banyak argumen yang dikemukakan oleh kalangan wakil rakyat, masyarakat, dan tokoh-tokoh berkenaan dengan kenaikan harga BBM itu, setidaknya ada tiga pikiran pokok yang menjadi alasan utama mereka menolak kenaikan harga BBM. Pertama, masyarakat belum yakin benar pemerintah mampu mengendalikan dampak dari kebijakan ini terhadap kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup. Masyarakat khawatir bahwa kenaikkan harga BBM tersebut akan semakin menambah beban ekonomi yang sudah berat berupa kenaikan harga kebutuhan sehari-hari. Kedua, masyarakat belum yakin bahwa program kompensasi BBM akan dapat mereka nikmati sebagaimana pemerintah janjikan. Ketiga, masyarakat belum dapat membeli alasan keadilan yang melatarbelakangi kenaikkan harga BBM sebagaimana yang disampaikan pemerintah. Masyarakat melihat bahwa masih banyak yang pemerintah bisa lakukan untuk mengurangi beban anggaran selain kenaikan harga BBM. Selain itu, masyarakat juga masih melihat berbagai bentuk ketidak-adilan dalam kebijakan ekonomi, yang tidak pernah diseriusi oleh pemerintah dahulu maupun sekarang.

Untuk menjawab kekhawatiran pertama, pemerintah perlu melakukan operasi pasar, agar harga kebutuhan pokok tidak melambung terlalu tinggi, sehingga tak terjangkau lagi oleh mayoritas masyarakat. Penyesuaian tarif angkutanpun perlu diatur oleh pemerintah. Agar aktivitas jalur transportasi bisa berjalan lancar dan tidak memunculkan kekisruhan seperti diwaktu-waktu lampau.

Untuk menjawab kekhawatiran kedua, pemerintah perlu merancang network yang mudah diawasi, agar dana kompensasi bisa menjangkau hingga daerah-daerah tertinggal yang letaknya terpencil. Sebagai penanggung jawab perlu ditunjuk satu orang, mulai dari tingkat propinsi, kota, kabupaten, kecamatan, hingga desa dan kelurahan. Supaya tidak terjadi penyelewengan, dan jika ternyata masih terjadi, mudah ditelusuri oleh pemerintah.

Untuk menjawab kekhawatiran ketiga, sungguh suatu tantangan terberat untuk pemerintah. Bukti kesigapan pemerintah dalam memberantas korupsi, kembalinya uang rakyat yang dikorupsi kepada negara, adalah fokus yang akan ditatap oleh masyarakat pasca kenaikan harga BBM ini. Selain itu, pemerintah perlu mengalokasikan banyak budget untuk penataan infrastruktur dan suprastruktur yang pokok bagi masyarakat. Simplisitas birokrasi, kebijakan bea yang memberatkan, adalah beberapa point yang harus betul-betul dipikirkan oleh pemerintah.

Ketiga point itulah yang harus sangat dipertimbangkan oleh pemerintah, dan diawasi penuh oleh seluruh elemen masyarakat. Tanpa keseriusan pemerintah dan perhatian penuh dari masyarakat, dampak-dampak negatif yang muncul kelak akan membuat perekonomian Indonesia benar-benar ambruk. Untuk jangka waktu yang lama, siapapun yang memerintah, siapapun yang diperintah, akan dipaksa menelan buah simalakama. Jadilah ekonomi Indonesia buah simalakama bagi rakyat dan pemerintahnya.

Kontroversi Ratu Sejagat

Mantan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia di era Orde Baru, Prof. Wardiman Djojonegoro, baru-baru ini berhasil menggagas keikut-sertaan Putri Indonesia dalam ajang Miss Universe 2005. Putri Indonesia 2004, Artika Sari Devi asal Propinsi Bangka-Belitung, didaulat untuk mewakili Indonesia pada ajang bergengsi tersebut. Berkat dukungan Yayasan Putri Indonesia dan support materiil dari pemilik perusahaan kosmetika ternama Mustika Ratu (Mooryati Soedibyo), Artika menjadi wakil Indonesia pertama selama ajang pemilihan putri sejagat itu digelar. Sebelumnya, Indonesia tidak pernah mengirimkan seorang utusan. Mengingat mayoritas masyarakat kita, terutama para muslimah, bersikap antipati terhadap kontes pemilihan ratu kecantikan sedunia itu.

Adalah sesi peragaan swimwear yang membuat banyak kalangan masyarakat kita alergi terhadap pemilihan Miss Universe. Pada sesi peragaan busana renang itu, para peserta memang diharuskan tampil terbuka. Minimal mengenakan swimwear model one piece, seperti yang dikenakan perwakilan kita di kontes Miss Universe tahun ini. Mengenakan swimwear model one piece, enhancer bra tops, halter tops atau underwire triangle tops, tetap saja sesi yang mengundang mata siapa saja ini menonjolkan bagian tubuh yang sangat pribadi. Maka wajar jika umat Islam Indonesia, terutama kalangan muslimah menentang pengiriman Artika Sari Devi ke ajang Miss Universe.

Pihak lembaga, perorangan ataupun media-media yang ikut memprakarsai serta mendukung pengiriman Putri Indonesia ke ajang Miss Universe, memandang reaksi keras itu sebagai aksi berlebihan. Seorang mantan Putri Indonesia, dalam interview dengan salah sebuah stasiun televisi swasta, menganggap pihak-pihak yang menentang tidak memandang secara utuh penyelenggaraan kontes pemilihan ratu sejagat itu. Seolah-olah kontes Miss Universe hanyalah sebuah perhelatan yang melulu terdiri dari sesi peragaan swimwear,pameran kecantikan, tanpa kegiatan lain yang bisa dikatakan positif.

Media-media cetak dan elektronik nasional pada hari-hari belakanganpun sepertinya membentuk opini dukungan bagi Artika Sari Devi. Media-media tersebut memang memandang wajar atas protes yang dilancarkan banyak kalangan umat Islam. Namun dilain waktu, merekapun memandang apa yang dilakukan Yayasan Putri Indonesia tidak bisa dianggap sebagai suatu kesalahan. "Dengan mengirimkan Putri Indonesia ke kontes kecantikan paling bergengsi di dunia itu, nama Indonesia bisa terangkat di mata publik Internasional,"tulis beberapa media. "Lagipula bukankah Indonesia merupakan negara demokratik, dimana pro dan kontra selalu mungkin ? Dan bukankah negara-negara muslim seperti Turki, Malaysia dan Mesir juga mengirimkan perwakilannya ke kontes ratu sejagat itu ?" tulis media lainnya, menjelang grand final pemilihan Miss Universe, 31 Mei 2005.

Menyimak sikap rata-rata media dan orang-orang terpelajar yang mendukung pengiriman Putri Indonesia ke kontes ratu sejagat, sebuah ajang kelanjutan dari "Bathing Beauty", festival swimsuit yang diselenggarakan perusahaan Catalina Swimwear di Long Beach, California, USA, pada 50 tahun lampau, marilah kita bertanya pada diri : apakah dengan mendukung salah seorang saudari kita mengikuti kontes yang disatu sesi-nya mengharuskan ia berbusana minim, atau memperlihatkan aurat yang seharusnya dilindungi, sekonyong-konyong kita menjadi sebuah bangsa yang terhormat ? Andai partisipasi kita dianggap sebagai sikap terhormat dihadapan negara dan bangsa-bangsa peserta, apakah sikap kita dianggap terhormat juga pada pandangan Allah 'Azza wa jalla ?

Lewat pandangan hati, diatas pandangan akal atau sekedar pandangan kasat belaka, semoga kita bisa jujur dan jernih menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Kadar kejujuran dan kejernihan berpikir kitalah akhirnya yang akan menggolongkan kita sebagai : masyarakat yang fadhilah, masyarakat yang jahiliyah, atau sebuah masyarakat fasiqa. Toh, kita hidup dalam negara yang demokratis, dimana orang bebas bertindak, berpikir, berpendapat, bahkan bebas memilih menjadi apa- menjadi jahil, menjadi fasiq atau menjadi fadhilah. Jangankan tokoh-tokoh barat atau cendekiawan yang menggandrungi ide demokrasi, Allah saja membebaskan kita untuk memilih menjadi baik atau bahkan memilih menjadi buruk. Meskipun begitu, kitapun harus kembali bertanya : Apakah kita siap menerima konsekuensi pilihan kita, ketika balasannya adalah azab dan murka Allah 'azza wa jalla, yang pasti datang dalam waktu dekat atau saat nanti ? Semoga kita bisa tepat dan bijak menjawab pertanyaan terakhir itu. Sehingga rakyat tidak terjebak debat kusir masalah yang tak perlu, dan pemerintah bisa menentukan kebijakan yang tegas dan berwibawa. Pemerintah seharusnya tak perlu ragu bertindak, takut dicap sebagai tukang breidel atau anti-demokrasi, sebab mengikuti fatwa MUI yang mengharamkan partisipasi Putri Indonesia dalam ajang Miss Universe 2005. (red/aea)

Cita-cita Pak Muby

Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, penuh sesak oleh para pelayat. Siang hari tanggal 25 Mei 2005 itu, jenazah Prof. DR. Mubyarto disemayamkan di aula agung universitas, sebelum diberangkatkan menuju peristirahatan terakhir : Taman Pemakaman Keluarga UGM, Sawitsari. Beberapa bulan sebelumnya, seorang guru besar di lain bidang keilmuan juga disemayamkan di Balairung UGM. Dia adalah Prof. DR. Kuntowijoyo, lelaki yang akrab dipanggil Pak Kunto, salah seorang cendekiawan muslim dan sastrawan kenamaan Asia Tenggara. Maka di tahun ini, telah tercatat dua kehilangan besar bagi UGM dan Indonesia, mengingat kredibilitas dua guru besarnya yang berpulang pada awal dan menjelang tengah tahun 2005 ini.

Seperti juga Pak Kunto, Pak Muby (panggilan akrab Prof DR. Mubyarto)-pun meninggalkan warisan pemikiran yang berharga. Jika Pak Kunto dikenal luas sebagai pelopor sastra profetik, sebuah konsep sastrawi yang dibangun berlandaskan prinsip dan tradisi kerasulan, maka Pak Muby disegani banyak kaum cerdik-cendikia dalam perannya sebagai konseptor Sistem Ekonomi Pancasila, sistem yang telah melahirkan sub-ide/sistem Ekonomi Kerakyatan diawal orde reformasi. Pemikiran-pemikiran seputar Sistem Ekonomi Pancasila yang banyak beliau lontarkan pada era 80-an, serta konsep Ekonomi Kerakyatan yang digagas Pak Muby menjelang SI-MPR 1998, merupakan warisan pemikiran yang bernilai tinggi, yang patut menjadi bahan kajian tidak hanya bagi kaum ekonom, namun perlu juga ditelaah dan direnungkan luas oleh berbagai kalangan di negeri ini.

Pak Muby adalah salah satu dari ekonom UGM penggagas konsep Sistem Ekonomi Pancasila, dalam dies natalis perguruan tinggi tersebut pada tahun 1980. Dalam perayaan seperempat abad UGM itulah, pertama kalinya ide Sistem Ekonomi Pancasila diungkapkan kepada publik. Gagasan itu disampaikan mengingat pemerintahan Orde Baru mulai tampak mengadopsi "paham ekonomi liberal" secara total, guna mengembangkan perekonomian Negeri. Sebagai koreksi atas kecenderungan tersebut, Pak Muby mengajukan semacam peringatan "teoritis", bahwasanya ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat yang tampak relevan bagi pengembangan perekonomian nasional, sebenarnya kurang memadai bagi pemerataan serta mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat kita. Guna menegaskan pendiriannya itu, pernah dalam satu artikel PUSTEP-UGM, lembaga penelitian yang diketuainya sejak 2002, Pak Muby mengutip peringatan Prof. Dr. Sardjito, Rektor pertama UGM. Isi pernyataan yang dikutipnya adalah : "....bila Taman Siswa membuka Fakultas Ekonomi, seyogianya Majelis Luhur Taman Siswa, mengajukan pertanyaan kepada dosen-dosennya, bagaimana menerapkan Pancasila dalam mata pelajaran Ekonomi. Bila pernyataan ini tidak diindahkan, bisa-bisa ide ekonomi kapitalistik merasuki mata pelajaran ekonomi di Taman Siswa."

Guna mengatasi kecenderungan itu, ekonom-ekonom UGM dengan 'motor' Pak Muby, membuat definisi dan penjabaran mengenai apa yang dimaksud dengan Sistem Ekonomi Pancasila beserta butir-butir Falsafah yang menjiwainya. Ekonomi Pancasila didefinisikan Pak Muby sebagai sistem ekonomi nasional Indonesia yang mengacu dan didasarkan pada etika falsafah Pancasila, yaitu :

" Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;

" Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan emerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;

" Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;

" Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;

" Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kalangan ekonom dalam struktur pemerintahan Orde Baru, ternyata mengabaikan peringatan dan menafikan konsep Sistem Ekonomi Pancasila yang ditawarkan Pak Muby. Para pemegang otoritas malah lebih tertarik mengembangkan sistem konglomerasi industri, seolah-olah sistem tersebut merupakan konsep ajaib yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi secepat mungkin. Pemerintah tak lagi hirau terhadap prinsip perekonomian Indonesia yang menganut azas kekeluargaan ( UUD 45 pasal 33 ayat 3) dan berlandaskan Pancasila, yang selain mementingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga mensyaratkan pemerataan pendapatan. Maka lalu terjadilah ketimpangan ekonomi. Semakin lebar jarak antara si kaya dengan si miskin. Sehingga timbul apa yang diistilahkan dengan : kesenjangan sosial.

Sebagai akibat dari penyelewengan cita-cita Ekonomi Pancasila yang sesungguhnya itu, Indonesia kemudian didera oleh krisis moneter pada tahun 1997. Krisis moneter ini membawa rejim Orde Baru pada periode akhir kekuasaan, serta menjerumuskan bangsa Indonesia dalam kubangan krisis multi-dimensi yang berkepanjangan. Di era yang dikenal dengan sebutan orde reformasi itu, gagasan Ekonomi Kerakyatan Pak Muby muncul ke permukaan. Tak urung kaum reformispun kemudian mengangkat ide Ekonomi Kerakyatan sebagai salah satu slogan perjuangan.

***
Dalam sebuah kesempatan pada tahun 1998, Pak Muby mengemukakan definisi daripada Ekonomi Kerakyatan. Menurut beliau, ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat, melalui upaya-upaya serta program-program pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat. Tujuan daripada sistem ekonomi kerakyatan itu adalah untuk meredam ekses kehidupan ekonomi liberal, yang nyata-nyata berpihak pada konglomerasi, ketimbang men-support kepentingan ekonomi rakyat kecil.

Semenjak reformasi, ide ekonomi kerakyatan ini terus digulirkan oleh Pak Muby, tanpa kenal lelah, waktu, dan pelbagai rintangan yang menghalangi. Namun selama pergantian kabinet yang sudah berlangsung empat kali, masih belum terlihat upaya serius dan konkret dari tiap kabinet, untuk mengembangkan ide yang diperjuangkan Doktor lulusan Iowa State tersebut. Dilain pihak, semangat ekonomi kerakyatan yang diserukan Pak Muby terus memberi darah bagi masyarakat kalangan menengah-bawah, untuk terus memperbaiki kehidupan ekonomi ditengah terjangan badai krisis. Diwaktu belakangan, ikhtiar kerja keras masyarakat itu menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Dengan indikasi pertumbuhan nilai tabungan masyarakat dari 14 % menjadi 33 % medio 1997-2003, Pak Muby mengisyaratkan bahwasanya perekonomian rakyat sedang mengalami kebangkitan. Perekonomian rakyat ternyata mampu menopang kondisi perekonomian negara dari keterpurukan.

"Pertumbuhan ekonomi sekitar 3-4 persen per tahun dengan dukungan ekonomi rakyat jauh lebih baik, aman, dan berkesinambungan, daripada pertumbuhan tujuh persen per tahun, tetapi dengan menyerahkan "kedaulatan ekonomi" pada pemilik modal atau kapitalis asing."tegas Pak Muby pada seminar tentang Dilema Etis dalam Kebijakan Pangan di Salatiga, Jawa Tengah, pada tahun 2004 lalu. Dari hasil pengamatannya terhadap geliat perekonomian rakyat tersebut, Pak Muby memperingatkan pemerintah untuk serius membantu usaha petani, serta pihak-pihak yang berperan aktif dalam gerak perekonomian kelas menengah-bawah itu. Peringatan Pak Muby ini dilatar-belakangi oleh keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang memasang person pengusaha untuk mengisi jabatan Wakil Presiden dan Menteri Koordinator Perekonomian. Ada kekhawatiran dalam benak Pak Muby, jangan-jangan kabinet pemerintahan sekarang ini mengulangi kesalahan para pendahulunya : cepat kaget ketika sektor industri menghadapi kekalahan bersaing, tapi kurang bereaksi disaat harga pangan mengalami kemerosotan. Dengan begitu, Pak Muby memprediksikan : kepentingan minoritas kalangan pedagang/pengusaha, akan kembali membelakangi kepentingan petani dan rata-rata mayoritas masyarakat kita, yang didominasi oleh buruh serta pegawai kecil.

***
Keberpihakan pada rakyat, itulah sikap yang menjiwai pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila dengan sub-sistem Ekonomi Kerakyatan, yang kita warisi dan dikehendaki oleh seorang Prof. DR. Mubyarto. Usaha mendidik ilmuwan-ilmuwan muda atau ekonom-ekonom muda yang toleransinya besar terhadap kepentingan rakyat, telah dicetuskan pula oleh Pak Muby, melalui perancangan kurikulum dan penyelenggaraan Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) yang telah berlangsung mulai tanggal 26 Maret 2005 di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Jika Ilmu Ekonomi dianggap lahir pada tahun 1776, ketika Wealth Of Nations karya Adam Smith diterbitkan, maka Pak Muby mengklaim waktu kuliah awal penyelenggaraan KEEP sebagai hari kelahiran Ilmu Ekonomi Pancasila. Pak Muby mewasiatkan supaya ilmu baru ini diberi kesempatan berkembang secara bebas, baik dalam hal pengkajian maupun penerapannya.
Setelah kepergian beliau, kini menjadi harapan kita semua, bahwa kelak akan muncul penerus-penerus Pak Muby, yang gigih memperjuangkan tercapainya tujuan dari Ilmu Ekonomi Pancasila, yang telah dengan susah payah beliau rumuskan. Semoga saja kelak tercipta masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, oleh karena keberhasilan penerapan Sistem Ekonomi Pancasila. Harapan yang besar tersebut pada akhirnya memang berpulang kepada diri kita masing-masing, yang kini masih dikaruniai nikmat sehat dan nikmat sempat. Seperti kerja keras Pak Muby yang tak kenal henti, begitu pula upaya keras kita untuk mewujudkan cita-cita konsep dan ide yang relevan ini.

Crying Money

Dalam seminar bertajuk "Konferensi Menuju Indonesia Bebas Korupsi" di Universitas Indonesia beberapa tahun lampau, Prof. Emil Salim menyitir satu pengertian korupsi. "Korupsi adalah perilaku mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban."demikian bunyi definisi termaksud. Pada definisi yang disempurnakan dalam kredo Bank Pembangunan Asia dari konsep Transparency International, sebuah LSM yang meliputi 60 negara dan mengkhususkan diri pada usaha pemberantasan korupsi di dunia itu, terkandung beberapa pengertian pokok. Pertama, pengertian pokok dari definisi tersebut yalah bahwasanya mereka yang terlibat korupsi terdapat dikalangan pemerintah (birokrat), swasta (pengusaha), lembaga politik (politisi). Dua, mereka yang tercantum dalam butir pertama berupaya memperkaya diri sendiri, memperkaya orang-orang yang 'dekat' dengan mereka, atau merangsang orang lain untuk memperkaya diri. Memperkaya diri dalam pokok kedua ini, selain bisa berarti menumpuk harta, bisa juga berarti memupuk kekuasaan. Tiga, pokok yang terkandung dalam definisi korupsi dari konsep Transparency International adalah ketidakwajaran dan ketidaklegalan cara yang dipakai, misalnya dengan penyalahgunaan kedudukan oleh mereka-mereka yang termaksud dalam pokok pertama.

Sesuai kedudukan pelaku korupsi, nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa bernominal kecil, dapat juga bernilai besar. Jika uang atau barang yang diberikan hanya sekedar bermakna "persenan", yang diberikan ikhlas dengan bahasa "tanda terima kasih", maka uang/barang tersebut, menurut Prof. Emil Salim termasuk jenis "Smiling Money". Jika uang/barang yang terlibat ternyata disediakan atas dasar keterpaksaan- demi memenuhi prasyarat pelayanan, Prof. Emil Salim menggolongkan jenis uang atau barang tersebut sebagai "Crying Money." Dalam kasus Crying Money terdapat pihak penerima suap, yang memaksa pemberi suap atau calon pemberi suap agar menyerahkan sebentuk 'upeti', bagi kelancaran birokrasi. Bagi pihak penerima suap, baik suap berupa uang/barang dalam kasus Crying Money, faktor pembiayaan pekerjaan atau proyek akan terpecah kedalam tiga aspek perhitungan : perhitungan jangka pendek, jangka panjang, dan menurut kelakaran sunda- perhitungan "jang-ka imah." Secara etimologis "jang-ka imah" dalam bahasa Indonesia memiliki arti : untuk ke rumah. Dalam sebuah Studium Generale yang pernah saya ikuti, seorang rekan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pernah membuat plesetan untuk kasus praktek Crying Money tersebut. Rekan mahasiswa itu memelesetkan akronim UUDP dan UYHD sebagai : "uang untuk dibawa pulang" dan "uang yang harus dibawa pulang."
Setelah terjadi praktek Crying Money, pihak pemberi suap tentu tidak ingin nilai labanya menciut dari rencana semula. Uang pelicin atau pemancing sudah terlanjur diberikan. Ibarat fishing, seorang fisherman tentu saja tidak ingin ikan yang tersangkut oleh kailnya, lebih kecil daripada umpan yang dipasangkan pada mata kail. Pihak fisherman atau pemberi suap itu akan menurunkan mutu produk sampai beberapa tingkat, meminimalisir pelayanan atau mutu pekerjaan lebih rendah dari standar biasa, agar laba yang diraupnya tetap maksimal, meski telah mengeluarkan biaya pelicin. Selain menimbulkan ekonomi biaya tinggi, objek dari proyek atau infrastruktur yang akan dikerjakanlah yang paling menanggung rugi akibat praktek Crying Money. Ketika penerima suap, yaitu panitia proyek telah menikmati laba kolusinya, ketika pemberi suap tetap bisa meraup laba tinggi kendati telah mengalokasikan dana atas dasar terpaksa, maka giliran pengguna produk atau layananlah yang kerap menanggung rugi. Dengan kata lain, ketika birokrat-pengusaha-politisi telah menuai manfaat besar dari praktek Crying Money-nya, dilain pihak masyarakat malah tak terpuaskan dan tak terlayani secara maksimal, mengingat pengadaan produk maupun pelayanan jauh dari memenuhi standar.

Dalam penjelasan praktek Crying Money, ada kesan istilah tersebut hanya dianalogikan kepada pihak pengusaha saja, yaitu para penggarap proyek yang harus 'menangis', sebab terpaksa harus membayar biaya yang tak jelas asal-usul dan kegunaannya itu. Analogi tersebut sebenarnya bisa diterakan pula kepada masyarakat yang dirugikan oleh praktek kolusi antara birokrat-pengusaha-politisi. Masyarakat 'menangis', karena akibat praktek Crying Money, pembiayaan yang seharusnya dikeluarkan birokrat untuk mencukupi diri mereka, malah digunakan untuk membayar kontraktor atau untuk dibagi dua dengan pihak pengusaha sebagai rekanan pemerintah. Masyarakat yang seharusnya menikmati pelayanan kelas A, malah harus puas menikmati pelayanan kelas C. Rakyat yang berhak atas produk kualifikasi A, malah harus menikmati produk kualifikasi D. Padahal, untuk pengerjaan fasilitas pelayanan atau pengadaan bahan-bahan logistik kebutuhan pokok, misalnya, pemerintah tetap membayar seharga produk kelas A atau pelayanan kelas A kepada pihak rekanan. Praktek Crying Money dengan begitu mengandung dampak besar : mass destruction, atau kerusakan massal. Artinya, kualitas hidup masyarakat yang seharusnya dikelola dengan baik, menjadi tergadaikan demi keberlangsungan sebuah praktek kecurangan.

The Political And Economic Risk Consultancy (PERC) mentahbiskan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Sebuah fakta yang tak terbantahkan, mengingat korupsi di Indonesia berdasarkan banyak temuan memang berurat-mengakar, bahkan mulai dari strata masyarakat bawah. Gerah oleh pentahbisan PERC, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kiprah lembaga tersebut tengah menjadi buah-bibir sekarang ini, terutama sejak kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencuat ke permukaan. Walaupun aktivitas KPK masih juga dipandang apriori oleh sebagian masyarakat, mengingat pengalaman orde pemerintahan sebelumnya lembaga-lembaga bentukan lebih berpihak pada kepentingan pribadi ketimbang kepentingan umum, usaha pengentasan korupsi itu tetap harus disyukuri oleh masyarakat yang selama ini menjadi korban praktek korupsi, khususnya Crying Money. Seluruh bangsa Indonesia tentu juga tak mau berlama-lama menyandang cap 'bangsa terkorup' ; 'bangsa dua ekstrem' (istilah Prof. Johanna Inewatsky, dari artikel S. Subagija). Yaitu, sebuah bangsa yang berusaha sekuat tenaga menjadi bangsa agamis, namun dilain pihak masih melakukan praktek kecurangan secara sadar. Karena itulah, minimal masyarakat kita mendukung upaya KPK dengan doa : "semoga pelaku-pelaku kecurangan bisa segera diatasi, dan uang rakyat yang telah mereka rampok bisa kembali ke kas negara." Dalam konteks doa tersebut, Crying Money dengan demikian berlaku pula sebagai analogi untuk para birokrat, dalang berbagai praktek kecurangan yang telah menyengsarakan negara dan masyarakat. Bukan mustahil, ketika tangis masyarakat yang sakit sudah mereda, giliran para koruptorlah yang menangis menyesali akibat kecurangan dan kejahilannya sendiri.