Friday, July 08, 2005

Arti Kepulangan

Apa yang terlintas dalam benak para pengantar, saat melepas kepergian para calon haji ke tanah suci ? Nurul, seorang remaja putri, yang masih saja terisak kendati bis rombongan haji yang membawa kedua orangtuanya sudah berlalu dari pandangan, memberi jawaban pendek :”Saya ingin mak dan bapak pulang dengan selamat.” Apa yang terlintas dalam benak mereka yang pergi, disaat melambaikan salam perpisahan kepada keluarga,kerabat, yang berdiri diantara jubelan orang di gerbang pemberangkatan ? Rusidah, seorang Ibu dan nenek dari satu cucu, yang terus melambaikan tangan ke arah anak, cucu, dan kerabatnya dari atas bis,dengan lugas menjawab : “Semoga saya dan suami menjadi haji yang mabrur. Dan saya bisa pulang dalam keadaan sehat, agar bisa berkumpul kembali bersama keluarga.”

Betapa dinantikan sebuah kepulangan. Alangkah romantiknya peribadatan di tanah suci, ketika kepergian membuat rindu, dan kepulangan disyukuri sepenuh hati. Mengertilah kita, mengapa orang mau bersibuk-sibuk membuat hajatan Walimatusy Syafar ; mengapa mobil-mobil sesak penumpang selalu membentuk konvoi, dikala mengantar kepergian atau menjemput kedatangan jemaah haji. Kepergian, penantian, kepulanganpun menjadi sebuah roman. Melengkapi kisah pengalaman yang dituturkan oleh mereka yang pulang, saat kenduri penyambutan atau hajatan kecil ditengah-tengah keluarga.

***

Dengan bermacam cara, kepulangan para duyufur Rahman (tetamu Allah) disambut oleh keluarga dan handai-taulan. Pernah dalam perjalanan ke Bandar Sri Begawan, di salah satu pelosok wilayah ibukota Brunei Darussalam, penulis mendapati sebuah poster bertuliskan :SELAMAT PULANG KE TANAH AIR, melintang di gerbang masuk sebuah jalan kampung. Menurut keterangan supir taksi, tulisan itu dibuat oleh keluarga dan kaum kerabat untuk menyambut kedatangan saudara atau tetangga mereka yang pulang berhaji. Di sudut Bandar Sri Begawan lainnya, penulis malah sempat menyaksikan kemeriahan acara penyambutan terhadap para haji dan hajjah baru. Sesampainya di pintu masuk menuju rumah tinggal, para haji dan hajjah baru mendapat saweran beras kuning dan uang logam. Kaum remaja, lelaki atau perempuan, dan bocah-bocah kecil lalu berhamburan, bergulat satu sama lain, memperebutkan uang logam dan memunguti biji-biji beras kuning. Dari tahun ke tahun, tradisi tersebut selalu diadakan, jelas sang supir taksi. Meskipun ada maklumat dari seorang ulama Brunei, agar warganya meninggalkan cara penyambutan yang banyak mengandung bid’ah tersebut. “Dalam suasana kita sibuk membuat persediaan menyambut ketibaan duyufur Rahman (tetamu Allah) ini, perlulah diingat dan berhati-hati supaya cara sambutan yang diadakan itu hendaklah bersesuaian dengan hukum ugama kita. Apalagi sambutan ini sebagai tanda menzahirkan tanda syukur kepada Allah SWT, atas kepulangan mereka dari Tanah Suci Mekah. Jangan membazir dan berlebih-lebihan berbelanja. Apatah lagi dengan melakukan amalan yang langsung tidak terdapat dalam amalan ugama Islam seperti menghamburkan orang yang balik haji itu dengan beras kuning, dengan wang syiling dan sebagainya. Sehingga, orang-orang yang datang meraikan ketibaan mereka itu berebut-rebut dan bercampur di antara lelaki dan perempuan tanpa mempedulikan mahram atau bukan mahram, demi untuk mendapatkan wang-wang syiling dan sebagainya dengan kepercayaan untuk memperolehi berkat.”tulis redaktur harian Pelita Brunei dalam bahasa melayu, beberapa hari sebelum kepulangan jemaah haji asal negeri mereka.

Kemeriahan dalam menyambut kepulangan sanak dari berhaji, tampak pula pada kalangan masyarakat di Indonesia. Sejak pagi hari, jauh sebelum para “haji dan hajjah baru” tiba, kaum kerabat serta handai taulan telah memenuhi areal lokasi penjemputan. Ada yang duduk-duduk sambil bercengkerama. Ada yang berdiri sambil mengobrol satu sama lain. Dan sewaktu terdengar derum bis memasuki lokasi, mata dan tubuh mereka dengan reflek tertuju ke arah pintu kedatangan. Merekapun menyemut di seputar badan kendaraan. Dan ketika pintu bis terkuak, makin dekat tubuh mereka berangsur, berdesak-desakan, di seputar bis pengantar jemaah haji.

Tangis bahagia kemudian menyeruak diantara peluk dan jabat tangan para “haji dan hajjah baru” dengan para penjemputnya. Seorang anak lelaki mencium lengan dan pipi ibunya seraya mohon didoakan. Apabila engkau bertemu orang haji (yang baru balik haji) maka bersalamanlah dengannya dan berjabat-tanganlah dengannya dan suruhlah dia berdoa memohon keampunan untuk dirimu sebelum dia masuk ke rumahnya. Sesungguhnya dia itu telah mendapatkan ampunan Allah SWT (doanya adalah dimakbulkan).''tulis satu hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Umar r.a. Seorang adik memeluk abangnya seraya berbisik : Semoga Allah menerima ibadah haji abang, mengampunkan dosa abang, mengganti perbelanjaan abang.'' Sang abang yang kini berhak menambahkan huruf “H” pada awal rentetan namanya, mengaminkan doa sang adik dengan ucap terbata-bata. Kegembiraan itu biasanya terus berlanjut. Dengan kenduri sederhana, bagi-bagi cindera mata, atau acara ramah-tamah di rumah “haji dan hajjah baru”, sembari menikmati oleh-oleh, seperti : kurma Rasul, kacang arab, atau segelas air zamzam. Cukuplah kenduri sederhana itu, sebab Allah telah berfirman : "Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhannya.” (Q.S. 17 : 27)

***

Nun di ujung barat Indonesia, kepulangan para jemaah haji malah menambah kepiluan yang tengah bertengger di seantero wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Juniazi S.Ag., Humas PPIH Embarkasi Banda Aceh, menuturkan betapa dadanya sesak oleh haru, disaat menyaksikan para duyufur Rahman asal kloter I kontingen haji Nanggroe Aceh Darussalam, melakukan sujud syukur di landasan pacu Bandara Sultan Iskandar Muda, seturunnya mereka dari pesawat. Bila para jemaah kontingen propinsi lain disambut oleh para pejabat Kanwil Depag atau Pemda setempat, agak istimewa, para jemaah haji asal Aceh dijemput langsung oleh Muhammad Maftuh Basyuni, Menteri Agama RI, dari Kabinet Indonesia Bersatu.

Kata-kata hiburan yang diucapkan sang menteri akhirnya tinggal kata-kata belaka. Tembok ketabahan yang mereka bangun dengan susah payah itu akhirnya roboh, begitu mendengar kabar tentang sanak-saudara yang wafat, tempat tinggal yang luluh lantak, dari tuturan kerabat atau tetangga yang datang menjemput. Menyaksikan kampung halamannya porak poranda karena bencana Tsunami 26 Desember 2004 lalu, para tetamu Allah asal Aceh itu, tak kuasa lagi menahan tangis. “Keinginan untuk bertemu orang yang dicintai sirna sudah. Kerinduan akan teduhnya tempat tinggal harus pupus. Semuanya sudah rata-rata…” tulis wartawan PR, Undang Sudrajat, dalam reportasenya.” Air zamzam dan berbagai cendera mata untuk sang terkasih, buah tangan dari tanah suci, tak tahu harus diberikan kepada siapa. Suami, istri, anak, cucu, bahkan tetangga telah lenyap. Kampung halaman hilang. Bagi mereka, Aceh persis seperti halaman buku gambar yang lukisannya sudah terhapus.”

Isak tangis para duyufur Rahman itu lalu memenuhi ruang-ruang, kamar-kamar penampungan Asrama Haji, kota Banda Aceh. “Ya, Allah. Saya ini mau pulang kemana ?” pekik seorang Ibu yang kini sebatang kara, ditinggalkan anak dan suami tercinta, buat selama-lamanya.

Nurul, saat ini mungkin tengah mengenakan kerudung Parsi-nya, sebelum mengikuti pengajian Jum’at malam, bersama Ayah dan Ibunya yang telah kembali menyandang gelar haji. Begitupun, Ibu Rusidah. Saat ini, ia mungkin tengah meneteskan air zamzam di mulut mungil cucu pertamanya, sebagaimana ia bernadzar sebelum berangkat ke tanah suci. Nurul, Ibu Rusidah, besar kemungkinan telah berkumpul bersama orang-orang yang dikasihi.Mereka tidak tinggal di tanah bencana. Jauh, dari Sumatera, dari Nanggroe Aceh Darussalam.

Ketika Nurul selesai berhias, mengenakan kerudung Parsi oleh-oleh sang Ibu. Ketika Ibu Rusidah tersenyum puas, menyaksikan lidah cucunya bergerak-gerak setelah ditetesi air zamzam yang sejuk. Dalam satu kamar Asrama Haji yang redup, seorang perempuan setengah baya mungkin sedang duduk merenung. Dalam terawang, matanya berkaca-kaca. Mulutnya bergetar. Mengucap satu-satu nama mereka yang dicintai, yang telah pergi, bersama deburan ombak tsunami. Botol minyak misyk yang wangi, untaian tasbih dari biji-biji kurma, masih terkemas rapi didalam tas bawaannya. Kacang arab, kurma Rasul, masih utuh dalam bungkus plastik, entah siapa yang akan menikmati. Tak ada suami, anak, cucu, menantu tercinta, yang diharapkan bisa didongengi, mendengarkan kisah perjalanan sucinya, antara Mekkah dan Madinah. Keramaian Masjidil Haram, ketakjubannya kala menatap Ka’bah, airmatanya di Maqam Ibrahim, perjuangannya di Jumratul Aqabah, menjadi kenangan yang tak terucapkan. Mungkin tak pernah terceritakan. Dan di kamar yang mulai sunyi menuju malam itu, perempuan setengah baya mungkin bertanya-tanya : apakah arti kepulangan.

No comments: