Friday, July 08, 2005

Save Our Forest

Pada tanggal 20 Desember 2004, Jaya Suprana, pimpinan Museum Rekor Indonesia, menyematkan penghargaan kepada Ghefira Nur Fatimah, penulis buku "Jalan-jalan Ke Hutan." Gadis cilik putri dari KH Abdullah Gymnastiar itu, dinobatkan sebagai penulis buku termuda dalam sejarah dunia penerbitan Indonesia. Beberapa media cetak memampang gambar senyum gadis cilik Ghefira, berdiri disisi Ayahnya yang bangga, sewaktu menerima penyematan yang sangat suprematif itu.

"Jalan-jalan Ke Hutan" adalah buku kumpulan cerita pendek yang dengan bersahaja mencoba bercerita kepada kita, tentang kesan seorang anak terhadap alam, pengetahuan pertamanya atas relasi antara alam dengan Sang Pencipta ; relasi alam dengan mahluk yang berdiam didalamnya. Keaslian hutan yang 'perawan', lengkungan sungai yang berkilat oleh sorot matahari, satwa-satwa berkarakter khas, dideskripsikan begitu rupa dalam teks-teks sederhana namun mencerahkan ini. Para pembacanya sedikit banyak akan memahfumi : penulis cilik ini terlibat begitu intens dengan pengalaman-pengalaman yang direkamnya melalui tulisan, pada lembar demi lembar halaman buku antologinya.

Pengalaman Ghefira dalam buku yang ia tulis, bisa jadi merefleksikan rata-rata sensuous anak-anak segenerasinya terhadap alam. Bahkan, mungkin serupa juga dengan rata-rata sensuous kita yang terpaut jauh dari usia mereka. Bukankah kebanyakan kita pernah merasai udara segar pegunungan, hangat mentari pedesaan, atau teduhnya pohonan di hutan ? Atau mungkin juga kita pernah terhanyut oleh bunyi gesek ranting-dedaunan, sewaktu sepoi angin menghembuskan rumpunan dan batang-batang bambu.

Kesan Ghefira dan anak-anak segenerasinya terhadap keasrian alam, kesan kita atas keaslian dan kemurnian hutan, mungkin tak akan pernah menjadi milik generasi mendatang. Kendati Indonesia memiliki hutan hujan tropika terluas ke-3 setelah Brasil dan Zaire, meskipun hutan hujan tropika dunia 10 persen-nya melintang sepanjang garis khatulistiwa kita, namun fakta menunjukkan bahwa hutan hujan kita kini berangsur-angsur punah. Setelah hektaran pohon ditumbangkan, ketika bermacam species hewan dibiarkan musnah atau dimusnahkan, bukan tidak mungkin kelak hutan akan tinggal hanya sebagai kenangan.

***

Proses kerusakan (pengrusakan ?) hutan berawal dari diberlakukannya kebijakan pemerintah yang memungkinkan pihak asing ikut serta dalam pengeksploitasian sumber daya hutan kita. Penebangan hutan yang tak terkendali itu dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dilanjutkan hingga medio 1970-an, dalam skala yang lebih besar. Dan ketika pemerintah mengeluarkan ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri pada tahun 1990, terjadilah land clearing. Pada waktu itu, rejim ORBA menentukan kayu meranti sebagai komoditas unggulan untuk menggembungkan 'keuangan negara'. Hutan kita betul-betul terkepung oleh aksi eksploitasi, aksi destruktif, yang pantas digolongkan pula sebagai aksi penjarahan. Pemerintahpun semakin sulit melakukan gerak pengendalian atau tindak pengawasan, sebab minimnya pengetahuan dan jumlah aparatur yang siap menangani masalah Kehutanan hutan hujan tropika.

Dani Wahyu Munggoro, Direktur LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia), mengemukakan : "Akumulasi eksploitasi yang ekonomisentris itu menimbulkan masalah-masalah sosio-ekologis yang masif di seantero Indonesia." Mengutip artikel Ghost Of The Forest, tulisan Michael S. Serril dalam Time Special Issue ( November 1997), beliau menambahkan bahwasanya kampanye pelestarian hutan dan konvensi-konvensi internasional yang digagas dan dilakukan, tidak mampu membendung laju kerusakan hutan Indonesia seluas 863.000 Ha per tahun. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengklaim angka yang lebih besar dari itu. Organisasi lingkungan yang dikenal militan ini mencatat laju kerusakan hutan periode 1985-1997 sekitar 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang dipublikasikan Badan Planologi Departemen Kehutanan, mengklaim 101,73 juta hektar hutan dan lahan yang rusak. Dan seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan.

Dengan luas kerusakan lahan yang cenderung melebar setiap tahunnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami kerusakan hutan terparah di dunia, pada saat ini. 12 % mamalia ; 16% spesies reptil dan ampibi ; 1.519 spesies burung ; 25% spesies ikan ; yang sebagian diantaranya merupakan endemic species (hanya terdapat di daerah tersebut), yang tersebar di seluruh hutan hujan tropika kita, ikut terancam musnah. Disamping dampak ekologis tersebut, 250 kelompok etnik yang berdiam di kawasan hutanpun kini rentan dari kepunahan. Mereka yang menjadikan hutan sebagai 'rumah' bagi jiwa dan tubuhnya itu, kelak bisa kehilangan sumber-sumber primer yang selama ini menunjang aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Sumber makanan, sumber air, juga sumber obat-obatan, tak lagi mencukupi kebutuhan seperti waktu-waktu sebelumnya. Penderitaan merekapun menjadi lengkap. Ketika kekhawatiran akan terjadinya kebakaran hutan, kejadian bencana alam, membuat kehidupan mereka jauh dari suasana tenang dan perasaan tenteram. Kekhawatiran itu sangat beralasan. Mengingat Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana sendiri mencatat : sepanjang tahun 1998 sampai pertengahan 2003, telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, yang menelan 2022 korban jiwa dengan angka kerugian milyaran rupiah. 85% dari kejadian bencana tersebut berupa banjir dan longsor, yang ditengarai penyebabnya adalah kerusakan lahan hutan.

***

Sungguh ironik. Disaat spesies hewan dan tumbuhan kita semakin langka, ketika saudara-saudara kita di pedalaman makin terasing dan tergusur dari habitatnya, dan dikala banyak daerah di seantero Indonesia 'menikmati' banjir kiriman karena kerusakan hutan, segelintir oknum aparat, cukong penebangan liar, dan beberapa negara tetangga menikmati berkah hutan kita dengan leluasa. Dua bersaudara Wong Sie King dan Wong Sie Tung, contohnya. Kali ini mereka pasti tengah leluasa menikmati laba, sebagai cukong kayu curian bakal ekspor, dari hutan Papua. Operasi Lestari II-pun belum berhasil mencekal mereka. Belum berhasil menangkap 'para pelindung' kegiatan Illegal Logging yang mereka sponsori, yang dicurigai berasal dari kalangan aparatur kita sendiri.

Selain keuntungan perseorangan, RRC, Malaysia, dan Afrika dipastikan ikut menikmati berkah kayu hasil hutan kita. Berdasarkan data yang dimuat oleh Tempointeraktif, ketiga negara itu paling banyak menampung atau menerima kayu ilegal dari Indonesia. "Ditemukan banyak kayu jenis meranti dan merbau yang di Indonesia sendiri sudah diharamkan penebangannya."papar Menteri Kehutanan M.S. Kaban berkenaan dengan hasil temuan instansinya di RRC, Malasyia, dan Afrika. "Di RRC jumlah kayu meranti dan merbau ilegal dari Indonesia mencapai 98 juta meter kubik. Itu cukup untuk stok industri di Cina selama 15 tahun. Sungguh ironis." keluhnya lagi.

Luther Kombong, salah satu anggota DPD asal Kaltim, mengatakan kepada Suara Pembaruan, bahwasanya illegal logging merupakan masalah yang sudah terlalu berlarut dan dampaknya bisa lebih besar dari korupsi. ''Kalau korupsi dampaknya negara dirugikan. Tetapi illegal logging, selain merugikan negara, lingkungan hidup jadi ikut rusak dan akan sulit diperbaiki.'' Luther Kombong lalu mengusulkan supaya Presiden segera mengambil upaya untuk memberantas kegiatan illegal logging tersebut. Beliau mengusulkan, operasi penertiban terhadap pelaku illegal logging perlu dilakukan dengan melakukan semacam operasi gabungan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal maret ini, mengeluarkan instruksi pembentukan tim khusus untuk menangkap para pelaku dan otak kejahatan pencurian kayu di Papua dan Kalimantan. Tampaknya, SBY sudah gerah menyaksikan keterlibatan aparatur (pemerintahan, kepolisian, militer) dalam sindikat pencurian kayu. Operasi Lestari II yang melibatkan Polri, TNI, Direktorat Bea Cukai, Imigrasi, Kejaksaan, dan Departemen Kehutananpun digelar bulan maret ini. 1040 personil diterjunkan ke lahan-lahan sasaran di Papua dan Kalimantan, dengan didukung oleh budget sebesar 12 milyar.

***

Pada 5 Juni 2003, tepat disaat peringatan Hari Lingkungan Hidup, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama kalangan LSM dan Departemen Kehutanan membuat pernyataan bersama untuk memberantas illegal logging. KH Sahal Mahfudz sendiri yang menandatangani dan ikut mengutuk tindak penebangan liar yang merusak sebagian besar hutan kita, dan menghadapkan kita pada bencana yang nyata. Diwaktu-waktu belakangan ini, ketika kejadian bencana alam menjadi buah bibir dan seakan sudah biasa terjadi dimana-mana di seantero negeri ini, sungguh berguna untuk merenungkan kembali makna dari peran aktif MUI, yang dipelopori oleh Rais 'Aam PB Nahdlatul Ulama tersebut.

Dari pernyataan yang dibuat MUI bersama Dephut dan beberapa LSM lingkungan hidup 2 tahun lampau, kita diajak untuk merenungkan manfaat jasmaniah maupun manfaat ruhaniah daripada kelestarian alam dan lingkungan hidup. Dari segi materiil-sisi jasmaniah, alam memberikan manfaat konkret, seperti : membuat pernafasan kita lega ; membuat sirkulasi darah kita lancar ; membuat mata kita cerah memandang ; dan membuat suhu tubuh kita menjadi seimbang, apabila alam tempat kita bertinggal bebas dari polusi dan kerusakan. Dari sisi ruhaniah, selain sensasi ketenangan-ketenteraman-kenyamanan yang berpengaruh pada mood dan enlightment, seperti yang dideskripsikan oleh Ghefira Nur Fatimah dalam bukunya "Jalan-jalan Ke Hutan", alam berfungsi sebagai media kita dalam proses ma'rifatullah : proses mengenal Allah Azza Wa Jalla. Pendapat itu dikuatkan oleh risalah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab dalam salah satu bait kitab Tsalatsatul Ushul, yang terjemahannya : 'Apabila Anda ditanya, dengan apa Anda mengenal Rabb Anda ? Maka jawablah, dengan ayat-ayat dan mahluk-mahluk-Nya. Diantara ayat-ayat-Nya adalah malam, siang, matahari dan bulan. Diantara mahluk-mahluk-Nya adalah tujuh langit dan tujuh bumi beserta siapa saja yang berada didalamnya serta apa saja yang berada diantara keduanya.'

Alam beserta mahluk yang bertinggal didalamnya, adalah bagian dari ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat tersebut menandakan kekuasaan dan isyarat eksistensi Allah SWT sebagai Sang Khaliq. Menjaga kelestarian alam, pada umumnya, menjaga kelestarian hutan, pada khususnya, dengan begitu berarti usaha mengabadikan dan melestarikan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Upaya pengrusakan dan pengabaian terhadap alam, dengan demikian, bisa dianggap sebagai upaya penghapusan memori ketauhidan dari nalar dan perasaan kita. Tanpa memori ketauhidan sebagai bagian dari fitrahnya, manusia akan tersesat, hilang keseimbangan, sehingga akhirnya menemui kebinasaan.

Kita sebagai saksi dari kerusakan dan penjarahan terhadap alam negeri ini, tentu harus menyikapi masalah kelestarian alam ini dengan renungan khusyuk dan tindakan serius. Kita harus mempertimbangkan : 'Generasi Ghefira', generasi setelahnya, untuk bisa mewarisi kekayaan dan keindahan alam demi kemaslahatan hidupnya dimasa-masa yang akan datang. Disamping mewarisi berkah yang terkandung didalamnya, generasi merekapun berhak mendapatkan fasilitas atau media yang ramah dan konkret, agar mereka bisa mendekatkan diri dan mengenali Tuhannya dengan cara memandang ayat-ayat kauniyah-Nya. Apa jadinya jika kelak hutan dan alam kita luluh lantak ? Hendak kemana anak-cucu kita memandang ayat-ayat kauniyah yang menandakan keberadaan-Nya ?

Ya ! Kita tentu tidak ingin terus menerus membenahi kota yang hancur sebab bencana alam, sementara negara-negara penampung kayu jarahan menikmati berkah meranti dan merbau, hasil bumi kita sendiri. Ya ! Kita tentu tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat dunia yang pantas dikasihani, sementara kekayaan alam yang terkandung di laut, tanah dan udara kita, membuat segelintir 'pengkhianat' dan negara-negara lain menjadi kaya dan digjaya. Ya ! Kita tentu tidak ingin ayat-ayat Allah (baca:kauniyah) tak terbaca oleh anak dan cucu kita, sebab alam pudar keindahannya, tak elok untuk dipandang mata.

Maka lerailah tangan-tangan mereka yang jahil itu. Yang hendak menghapus tanda dan isyarat keberadaan-Nya. Yang Dia pahatkan pada sekujur belukar dan belantara hutan Indonesia : 'rumah' bagi raga dan jiwa kita sepanjang masa.

No comments: