Friday, July 08, 2005

Mengapa Harus Nanggroe ?

Minggu pagi, 26 Desember 2004, tsunami menyapu dataran Nanggroe Aceh Darussalam. Dihadapan televisi kita terpekur. Mata kita, mata anak bangsa yang perih. Perih menyaksikan tubuh anak-anak yang lahir dari rahim Cut Nyak, bergelimpangan di atas bumi sendiri. Dada kitapun sesak. Sebab teraba duka di hati Pa’Nek dan Ma’Nek yang belum lagi reda, kini sudah diterpa bencana lagi. Inilah puncak penderitaan saudara-saudari kita di bumi Nanggroe. Bumi yang dari rahimnya telah melahirkan syuhada-syuhada agung. Bumi yang telah membesarkan een-national heldenpaar (pasangan pahlawan nasional) Indonesia : Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien dari Meulaboh.

Franky Sahilatua menulis lagu “Duka Bangsa”, sebagai dedikasi atas terjadinya musibah besar ini. Ustadz Arifin Ilham dan para jemaahnya menangis sambil berdoa : “…semoga mereka yang pergi meraih ridha-Nya, memperoleh pengampunan-Nya.” Dan malam 27 Desember 2004 tadi, di studio Rajawali Citra Televisi, dering telepon dan faxcimile tak henti-hentinya mengirim ungkapan bela-sungkawa, ketika salah seorang ulama besar Indonesia, K.H. Abdullah Gymnastiar, mencoba menyusun kata-kata penghiburan dalam ucap terbata-bata. Indonesia berkabung. Mulai tanggal 27 hingga 30 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan hari berkabung nasional. Negeri ini sedang “menangis.”

Karamnya kapal laut, jatuhnya pesawat terbang, bisa kita cari apa yang menjadi faktor penyebabnya. Teror bom, perang saudara, musibah kebakaran, adalah bencana yang bisa kita usut siapa dalangnya. Dengan paparan teliti, Z.A. Maulani mengira dana keuangan Barat telah membiayai gerakan insurgensi GAM di Aceh, untuk memanipulasi konflik domestik yang menyengsarakan rakyat Nanggroe. Setelah membaca tulisan mantan Kabakin yang dikumpulkan dalam sebuah buku (Zionisme : Gerakan Menaklukkan Dunia) itu, kita bisa cepat menyimpulkan : konspirasi Barat berperan banyak dalam konflik di Aceh.

Ya, serapat apapun manusia, jejak-jejak perbuatannya masih meninggalkan jejak untuk dilacak. Tapi peristiwa bencana yang terjadi atas ketentuan-Nya, tentulah membutuhkan waktu, hati, dan pikiran yang jernih untuk menguak hikmah dibalik itu. Kita perlu mempelajari pengalaman serupa, membuka lembar demi lembar firman Allah, untuk menginsyafi apa pasal Allah menurunkan bencana alam di bumi Aceh, di bumi pertiwi, tempat kita berteduh dan berhandai antar sanak-saudara.

---

“Sungguh pada kisah-kisah mereka adalah pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang diada-adakan, tetapi membenarkan kitab terdahulu dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf : 111)

Demikian firman Allah yang menyuruh kita mengkaji peristiwa yang terjadi pada masa-masa kenabian. Kisah pengasingan Adam dan Hawa, pertarungan antara Daud dan Jalut, terbakarnya birahi Zulaikha oleh karena melihat kerupawanan Yusuf, kisah Ibrahim yang diperintahkan memenggal kepala putranya, Ismail, adalah sebagian kisah dari masa kenabian yang mengandung hikmah yang dalam. Selain kisah-kisah balada tersebut, Al-Qur’anpun mencantumkan peristiwa-peristiwa bencana besar, tentang kemusnahan suatu kaum, akibat kelalaian mereka dari mengingat Allah. “Maka mereka mendustakan Nuh , kemudian kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).”firman Allah dalam Al-Qur’an, Surat Al-A’raf, ayat 64, tentang hukuman yang ditimpakan-Nya kepada kaum yang lalai dari seruan Nabi Nuh a.s. “Kaum Luthpun telah mendustakan ancaman-ancaman ( Nabinya ). Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka ), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing. Sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan sesungguhnya dia ( Luth ) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu,”firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Al-Qamar, ayat 33-36, tentang azab yang memusnahkan seisi kota Sodom dan Amurah. Kisah banjir Nuh, kisah terbaliknya dataran Sodom-Amurah itu, merupakan kisah pengazaban Allah terhadap sebuah kaum. Allah murka kepada seluruh kaum, karena mereka, nyaris seluruhnya, telah menyepelekan peringatan Allah yang disampaikan oleh para utusan-Nya.

Kedzhaliman seorang penguasapun bisa mengundang kemurkaan Allah. “(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami Tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang dzhalim,” firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Al-Anfal, ayat 54, tentang hukuman yang ditimpakan kepada Fir’aun, Pharaoh penguasa Mesir.

Firman-firman diatas mengungkapkan kepada kita, bahwasanya bencana alam yang menimpa di jaman kenabian itu, disebabkan oleh kemurkaan Allah terhadap kemaksiatan yang dilakukan suatu kaum atau keangkuhan para pemimpinnya. Menyimak peringatan Allah tersebut, atas terjadinya bencana Alam di Nanggroe dan sebagian Sumatra Utara itu, rasa-rasanya kitapun perlu bertanya : adakah kemurkaan alam disebabkan oleh kedhaifan kita sebagai suatu kaum ?Adakah kemurkaan alam ditujukan sebagai peringatan untuk para pemimpin bangsa, yang menurut pandangan-Nya tidak sungguh-sungguh serius, menangani kejahilan dan kedzhaliman manusia yang kerap menyusahkan rakyat serambi Mekkah ?

---

Dalam “Sejarah Kecil : Petite Histoire Indonesia”, Rosihan Anwar mengutip paparan Almarhum Prof. Dayan Dawood, tentang kondisi Aceh semenjak pasca-kemerdekaan. Gambaran Prof. Dayan Dawood tentang Aceh, salah satu pembicara dalam seminar : “Indonesia Pasca Pemilu : Bagaimana dengan Reformasi ?” yang diikuti Rosihan Anwar itu sungguh-sungguh memprihatinkan. Ia menceritakan betapa rakyat Aceh yang merindukan penerapan syari’at Islam, dikhianati oleh pemerintah pusat yang ketika itu dikepalai oleh Soekarno. Teuku Daud Beureuh memimpin perlawanan terhadap pemerintahan pusat selama 1950-1960, dikarenakan niat rakyat Aceh untuk memberlakukan syari’at Islam dihalang-halangi Presiden Soekarno. Budi rakyat Aceh yang telah rela menyumbang harta bendanya untuk dibelikan pesawat kepresidenan RI-1 Seulawah itu, telah dibalas dengan “air tuba.” Keinginan menerapkan syari’at Islam disinyalir pemerintahan pusat sebagai langkah separatis. Maka, tidak hanya peluru pasukan Jenderal Van Heutsz saja yang tercatat pernah mengincar tubuh para patriot Aceh. Pejuang Aceh itu kemudian banyak menemui syahid, setelah diterjang peluru tentara republik, yang notabene adalah saudaranya sendiri.

Di zaman Orde Baru, hasil pengolahan gas alam Arun yang dikelola Pertamina bersama America Mobil Oil, mengalir ke kas pemerintahan pusat, ditransfer ke bank-bank luar negeri. Alih-alih menikmati kekayaan alamnya, empat puluh persen rakyat Aceh dibiarkan termangu dalam kemiskinan. Gerakan Aceh Merdekapun lahir. Untuk menumpas gerakan separatis tersebut, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan DOM (Daerah Operasi Militer). Lebih dari 800 orang tewas, dua puluh ribuan orang menjadi difabel, ribuan anak menjadi yatim-piatu, dan banyak saudari-saudari kita di sana terpaksa : melahirkan bayi hasil perkosaan ! Trauma DOM bersemayam terus di tanah rencong. Alhasil, pada era reformasi, personil TNI malah lebih ditakuti daripada pasukan GAM. Dan di era reformasi ini juga, para pelaku kejahatan perang di Aceh semasa DOM diberlakukan malah luput dari pengusutan. Tak ada usaha untuk menegakkan kebenaran dengan sungguh-sungguh, di bumi Nanggroe Aceh Darussalam.

---

Membaca penderitaan rakyat Nanggroe yang tertanggung sekian lama itu, mendengar tragedi bencana alam yang menerpa kemarin minggu, kitapun sibuk menebak apa makna dibalik musibah nan dahsyat ini. Sesaat setelah tsunami melanda, televisi- radio-koran-situs internetpun terus memuat berbagai tanggapan yang berusaha menafsirkan makna dibalik bencana. Seorang ibu rumah tangga, seorang karyawati BUMN, seorang seniman, seorang ulama, hingga Presiden republik inipun berupaya menemukan ucap, menulis sekalimat penafsiran, agar terjawab tanya : mengapa harus Nanggroe ?

Jawaban itu takkan pernah kita temukan dalam diskusi ramai atau sentimen perasaan sendiri. Jawaban itu takkan pernah kita temukan dalam gejala alam dan perputaran cuaca. Dalam raut anak-anak Cut Nyak yang “pergi”, dalam wajah yang tak tergenang rasa sakit atau nyeri itu, barulah kita bisa menemukan sedikit jawab, bahwasanya Allah telah mengangkat bocah-bocah suci itu menuju surga. Membebaskan mereka dari rasa takut akan desing peluru, rasa takut dari kematian Cut Nyak atau Pak Nyak-nya, karena peluru prajurit GAM atau pisau tentara. Dalam raut Pa’Nek-Ma’Nek yang terkubur di bawah reruntuhanpun kita akan menemukan sepenggal jawab. Bahwasanya, Allah telah membebaskan mereka dari kenakalan “anak-cucu”-nya yang senang berseteru. Menyelamatkan mereka dari tipuan orang luar pulau, orang-orang asing yang beramah-tamah, sebelum menghisap kekayaan buminya. Bencana ini bukanlah azab. Mungkin, Allah sudah tidak sabar untuk memeluk tubuh-tubuh suci, tubuh-tubuh renta itu, yang telah bersabar atas dera dari orang-orang yang berdalih : kita semua adalah saudara !

No comments: