Thursday, July 07, 2005

Setelah Eksekusi Itu...

Sebelum dan setelah eksekusi itu, mungkin pernah kita bertanya : Bagaimana perasaan orang dekat atau sanak-keluarga Astini, ketika maut kian nyata bakal menjemput kawan, istri, atau ibu yang mereka cintai ? Bagaimana perasaan famili dan kerabat korban, disaat menunggu pelor regu penembak menembus jantung pembunuh orang yang mereka kasihi ? Lalu…bagaimana pula perasaan Astini, sang terdakwa hukuman mati, disaat detik-detik eksekusinya semakin pasti ?

Pengadilan Negeri Surabaya memvonis mati Astini alias Bu Lastri (baca : ibunya Lastri, nama panggilan anak sulungnya, Kristianti) pada tanggal 17 Oktober 1996, setelah ia terbukti melakukan serangkaian pembunuhan keji. Ketiga korban Bu Lastri ialah Rahayu, Sri Astuti Wijaya, dan Puji Astuti. Masing-masing korban dibunuh, tubuhnya dipotong-potong, sebagai cara menghilangkan jejak. Tiga wanita itu tewas setelah Bu Lastri tak kuasa menahan hinaan dan ejekan, karena tak sanggup melunasi hutang dalam tempo yang telah disepakati. “Dasar kere, ming utang duapuluh ribu kok ra iso mbayar !”ejek seorang korbannya berkali-kali, sehingga Bu Lastri kalap dan gelap mata. Korban bernama Puji Astuti, orang yang melontarkan umpatan itu, adalah korban terakhir dari aksi kebengisan Bu Lastri (dibunuh tanggal 4 januari 1996). Sedang Rahayu dan Sri Astuti Wijaya, korban-korban sebelumnya, dihabisi pada medio 1992 dan 1993.

Ketika Bu Lastri terbukti bersalah dan palu vonispun telah diketukkan, tim pembela hukumnya, Ida Sampit Karokaro dkk, mengajukan banding, kasasi, bahkan grasi kepada presiden. Semua upaya mereka tertolak. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur bertanggal 8 Januari 1997 malah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya, demikian pula putusan Mahkamah Agung pada 13 Juni 1997. Semenjak itu, Bu Lastri harus mendekam dalam salah satu sel Lapas Sukun, Malang, sebelum dipindahkan ke Rutan Mendaeng, Sidoarjo, sambil menunggu eksekusi regu tembak yang akan mengakhiri hidupnya, minggu dinihari 20 Maret 2005.

Bu Lastri menjalani waktu di Lapas Sukun bersama seorang kawan senasib bernama : Mariam. Saat petugas Lapas mengatakan bahwa waktu eksekusi sudah ditetapkan, Mariamlah yang menangis untuk Bu Lastri. “Dia masih mau hidup. Masih mau bertaubat.”ucap Mariam, tentang niatan sahabat sepenanggungannya itu. Menurut Mariam, Bu Lastri selalu terlihat tekun menjalankan ibadah-ibadah yang disyari’atkan. Selama delapan tahun menunggu kepastian nasib ; shalat fardhu, shalat ‘qiyamul lail’, shaum sunnah dan puasa ramadhan, dijalani Bu Lastri dengan penuh keikhlasan. Pertaubatan Bu Lastri dituturkan pula oleh Siti Romlah, guru mengajinya selama menghuni Lapas, juga oleh para petugas pembina Lapas : Lilik Sulistyowati dan Martiningsih. Mariam, Siti Romlah, Lilik dan Martiningsihlah, orang-orang yang ingin ditemui Bu Lastri menjelang ajal, selain para anggota keluarga terdekat. Sebelum permintaan terakhir itu diungkapkan oleh Bu Lastri, Mariam bahkan telah meminta beberapa stel baju sahabatnya buat disimpan sebagai kenang-kenangan.

Terlalu besar keharuan sahabat dan orang-orang yang dekat dengan Bu Lastri menjelang akhir hidupnya, maka tak terperikan pula kesedihan yang harus ditanggung oleh suami, anak, cucu, dan kaum keluarga. Tanggal 16 Maret 2005, pukul 13.30, tembok bisu Rutan Mendaeng menjadi saksi betapa memilukan dan menyayat hati, pertemuan antara Bu Lastri dan tiga orang anggota keluarganya. Dalam perjumpaan itu, bergantian Bu Lastri memeluk anak bungsu, suami, dan anak menantunya. Kepada Supilin, sang suami, Bu Lastri membisikkan sesal dan permohonan maaf. Kepada Pinda, si anak bungsu, ia kecupkan ciuman terakhir. “Lastri nggak dateng, Nur ?” tanya Bu Lastri kepada Nurhadi, sang menantu, suami dari putri sulung yang selama ini kerap membesuk. Isakpun kembali tak tertahankan, selesai Nurhadi menjelaskan, bahwa Lastri masih belum fit betul kondisinya karena baru melahirkan cucu Bu Lastri yang ke-3. “Anak kami baru berumur dua minggu, Mas.”jelas Nurhadi ketika ditanyai salah seorang wartawan di halaman Lapas, sepulang dari membesuk. Hujan lebat saat itu turun mengguyur kota. Mengiringi ketiganya pergi berlalu, berkendaraan motor, meninggalkan Rutan Mendaeng.

Menyusul kunjungan pertama pada 16 Maret 2005, suami, anak bungsu, dan anak menantu Bu Lastri kembali berkunjung pada hari Jum’at, 18 Maret 2005. Kali ini ikut bersama mereka : Lastri, anak sulung yang selama ini rajin menjenguk dan memenuhi kebutuhan ibunya di Lapas, serta Tedi, putra kedua yang lama tidak saling bertatap muka. Tangis kembali pecah di sel nomor 2 Rutan Mendaeng itu. Petugas Rutan Mendaeng yang menyaksikan pertemuan ikut tak kuasa menahan air mata. Berturut-turut, sejak jum’at hingga keesokan harinya (sabtu, 19 Maret 2005), satu per satu keluarga dan kenalan yang ingin bertemu dan ditemui Bu Lastri, datang mengunjungi. Buat terakhir kali.

***

Ketika kawan dan sanak-keluarga Bu Lastri tenggelam dalam kesedihan, para kerabat korban menunggu dengan harap-harap cemas kepastian waktu eksekusi pembunuh orang yang mereka kasihi. "Selama Astini masih hidup dendam kami belum terbalas. Menurut kami nyawa harus dibayar dengan nyawa. Meskipun begitu, kami tak mempunyai dendam sedikitpun terhadap keluarga Astini. Untuk itu saya datang ke Medaeng. Sekadar memastikan, apakah Astini sudah mati atau belum." jelas Agus Purwanto, adik mendiang Puji Astuti, yang sengaja menunggu waktu eksekusi sejak jum’at malam hingga sabtu dinihari. Berdasarkan keterangan lelaki yang kini bekerja di penerbitan itu, seluruh keluarganya masih menyimpan dendam terhadap Astini. Ibunda Puji Astuti, bahkan sering terbangun dan menangis tengah malam, jika teringat betapa putri tercintanya harus menemui ajal secara tragis : tubuh dipotong-potong, serpihannya dicampakkan pada tumpukan sampah, dan hingga kini hanya bagian kepalanya saja yang bisa dikebumikan. Kepergian itupun dirasakan sangat memilukan hati ketiga adik almarhumah, bila mengingat Puji Astuti adalah tulang punggung yang bertanggungjawab penuh atas seluruh anggota keluarganya. “Kalau Astini sudah dieksekusi, nanti saya akan kabarkan kepada seluruh keluarga.”tambah Agus Purwanto, dalam suara tertahan.

Eksekusi atas Astini dinantikan pula oleh keluarga Ny. Sri Astuti Wijaya, korban kedua yang dibantai pada 1 November 1993 karena urusan piutang Rp. 225.000 dan Rp 300.000. Kematiannya meninggalkan suami dan tiga orang anak yang masih sangat membutuhkan momongan. Disaat Astini membunuh ibu mereka, anak tertua Sri Astuti Wijaya baru saja lulus dari bangku sekolah dasar (SD), sedangkan sang anak bungsu masih dalam usia balita. Bisa dibayangkan harga kehilangan yang harus ditanggung suami dan anak-anak almarhumah. Anak yang sedang lucu-lucunya, anak yang tengah menjelang masa remaja, harus kehilangan ibu tempat mengadu, sumber curahan kasih yang paling murni. Sungguh malang nasib ketiga anak mendiang. Bahkan seandainyapun Astini jadi dihukum mati, tetap tak bisa menggantikan tahun-tahun kepiluan, disaat tali kasih mereka dengan ibundanya dicerabut secara paksa. Tahun-tahun itu tak akan kembali. Untuk selamanya mereka hanya bisa meraba-raba, merangkai sekumpulan memori : tentang kasih sayang seorang ibu yang pernah mereka dapat.

***

Dalam pertaubatannya, Bu Lastri mungkin telah menyadari betapa besar akibat perbuatan terkutuknya. Dia mungkin bisa memahami kepedihan ibunda Puji Astuti, sebab anak tersayang yang pernah diasuh, dibelai, dimanjakan dengan mesra perasaan, dibunuh dan dicampakkan begitu hina. Bu Lastri mungkin bisa merasakan kehilangan itu, setelah mengandaikan apa yang ia perbuat terjadi pada salah satu dari tiga buah hatinya.

Dalam masa delapan tahun pembinaan di Lapas Sukun, mungkin juga ada saat-saat tertentu, ketika Bu Lastri menyadari betapa besar kehilangan anak tertua Sri Astuti Wijaya : si sulung yang seharusnya tengah menikmati dunia penuh warna menjelang masa remaja, yang kini terpaksa menjalani kehidupan gelap tanpa tuntunan seorang ibu. Pada saat-saat tertentu itu juga, Bu Lastri mungkin bisa merasa iba, mengingat si bungsu yang masih kerap menangis mencari pelukan ibu, mesti kehilangan tempat bermanja dan mengadu. Ya. Andai pertaubatan Bu Lastri adalah sebenar-benarnya taubat, dia pasti akan merasakan pedih yang sama, dengan duka yang merundung ibunda Puji Asuti dan ketiga anak Sri Astuti Wijaya.

Sadar akan harga perbuatannya, kendati masih berhasrat untuk hidup dan bertaubat, Bu Lastri akhirnya mengikhlaskan diri untuk menempuh eksekusi. Meskipun tangis kerap mengisi perjumpaan-perjumpaan terakhir antara Bu Lastri dengan kaum keluarga serta kenalannya, sesungguhnya maut bukanlah suatu masalah bagi dia.”Astini pernah bilang kalau dia benar-benar sudah ikhlas, dan siap menjalani eksekusi."ujar seorang petugas LP. Ketika ia membaca surat Mariam, rekan satu selnya di Malang, tak sedikitpun Bu Lastri tampak meneteskan air mata. Dengan datar, ia hanya berucap : “Terima kasih...” pada petugas pengantar surat. Kepasrahan Bu Lastri tersebut diabadikan pula dalam foto-foto yang diambil petugas Rutan. Dalam foto-foto tersebut, senyum selalu terpancar dari wajah Bu Lastri, seakan-akan dia bukan seorang pesakitan yang tanggal kematiannya sudah ditetapkan diatas kertas.

Sebelum minggu dinihari (20/3), waktu eksekusi yang telah ditentukan, selain menerima kaum kerabat dan handai taulan, Bu Lastri mengisi hari-hari terakhirnya dengan banyak beribadah. Sebelum keberangkatannya ke tempat pelaksanaan eksekusi, Bu Lastri menyempatkan pula untuk berwudhu. Selama perjalanan, didampingi oleh petugas eksekusi kejaksaan( Ariana Yuliastutik dan dr. Nurhayati) dan kuasa hukumnya Ida Sampit Karokaro, Bu Lastri terus menggumamkan dzikir. Dalam setelan kerudung hitam baju terusan putih, Bu Lastri terus menyebut asma Allah : “..subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallaah wallahu akbar…”, lamat-lamat terdengar dari bibirnya yang bergetar. Dan seturunnya dari mobil yang mengantar, sebelum ia diantar ke hadapan regu tembak, Bu Lastri menitipkan pesan kepada sang kuasa hukum : “Saya sudah ikhlas. Bilang sama anak-anak, terus beribadah, ya, Bu.”

***

Minggu dinihari, usai eksekusi itu, apa perasaan yang berkecamuk dalam dada kita ?

Banyak komentar terlontar pasca eksekusi itu. Ada yang memilih untuk mendukung, ada yang memilih untuk menentang, atas keputusan eksekusi mati itu. “Apakah hukuman mati ini efektif mengurangi kejahatan ? Atau hanya mata ganti mata, gigi ganti gigi? Saya pribadi setuju hukuman mati dilaksanakan. Yaitu, apabila pelaku benar-benar sudah tidak bisa ditangani selama dalam terali besi untuk seumur hidup. Tapi apabila masih bisa dihukum dalam kerangkeng besi yang aman, maka nyawa seseorang harus dijaga sampai TUHAN sendiri yang mencabutnya. Bukan manusia!” tulis seorang komentator yang tidak setuju. “Melihat takaran hukuman, memang benar seperti yang diterapkan terhadap Astini...”tulis komentar yang mendukung. “…tapi koruptor, bandar narkoba, yang sudah membunuh dan menyengsarakan jauh lebih banyak orang...mestinya dihukum juga yang setimpal. Tapi biasanya kalau yang 'gede'an kan lebih licin. Paling tidak boleh masuk rumah sakit...'sakit katanya....” tambah komentator itu sambil setengah menyindir.

Semua pendapat tentu punya alasan kuat. Namun dengan berempati terhadap mereka-mereka yang terlibat secara emosional : sanak-keluarga terdekat Bu Lastri, Ny. Rahayu, Sri Astuti Wijaya, dan Puji Astuti, setidaknya kita berupaya mencari sebuah argumen moderat. Misalnya, semacam statement bahwasanya Allah sudah menentukan keadilan-Nya. Dengan keadilan-Nya, Allah memberi waktu sembilan tahun lamanya kepada Bu Lastri untuk melakukan taubat. Dengan keadilan-Nya pula, Allah menghapuskan dendam didada para keluarga korban, dengan menentukan takdir hukuman atas Bu Lastri. “Astini telah mati, kami puas ... hutang nyawa dibayar nyawa. Terima kasih Pak Polisi!" cetus Agus Purwanto, adik Puji Astuti, setelah ia memastikan kematian pembunuh sang kakak di kamar mayat RSUD Dr. Sutomo, Surabaya. Dan selesai eksekusi yang akan tercatat dalam sejarah ini, kita harus selalu optimis : takdir hukuman-Nya, cepat atau lambat, akan berlaku pula atas kebengisan lain, kerakusan lain, yang lebih banyak menelan korban dan menghisap nyawa dan hajat hidup orang banyak.

No comments: