Friday, July 08, 2005

Film Tak Pernah Pergi

Ajang itu kembali digelar. Para undangan menghadap sebuah panggung terbuka, menikmati sepoian angin yang berhembus dari laut, seberang Pantai Ancol malam hari. Tamu-tamu istimewa malam itu adalah para pekerja dan pengamat film Indonesia. Orang-orang yang telah menunggu malam itu selama dua belas tahun lamanya.

Semenjak tahun 1992, ketika suami-istri Jamal Mirdad dan Lidya Kandau berhasil menyandingkan Piala Citra, baru malam itu Festival Film Indonesia (FFI) digelar lagi. Tanpa karya Wim Umboh, Nyak Abbas Akup, atau film operet Sjumandjaja. Tanpa Soekarno M. Noer, Benyamin Sueb, atau nama Teguh Karya tertera dalam kertas buku undangannya. Semenjak master of ceremony membuka acara dengan sejenak mengheningkan cipta, suasana rasa-rasanya memang berbeda dengan dua belas atau dua puluh tahun lampau. Banyak yang berubah, pada malam anugerah Citra kali ini.

---

Seorang lelaki muda berambut pendek, bertampang klimis, dipanggil untuk menghampiri panggung malam itu. Kembanglah senyumnya, ketika Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik diserahkan kepadanya. Seorang wanita cantik, bersanggul modern, juga dipanggil ke atas panggung malam itu. Senyumnya rekah, suaranya renyah, membilang “terima kasih”, setelah Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik disematkan kepadanya. Itulah kegembiraan yang sama, seperti yang pernah dirasakan seorang Rano Karno, Deddy Mizward, atau seorang Darussalam. Sebuah kegembiraan yang sama, seperti yang pernah dirasakan seorang Christine Hakim, Meriam Bellina, atau seorang Yenny Rachman. Tentu saja, kendati malamnya tak sama, kendatipun suasananya berbeda dari waktu-waktu terdahulu, kegembiraan yang mencuat masih kegembiraan yang itu-itu juga. Kegembiraan karena kerja keras telah membuahkan pentahbisan. Pentahbisan yang tak terukur oleh uang, penobatan yang hanya bisa diukur oleh kepuasan hati dan halus perasaan.

Setelah kerja keras dan kepuasan hati, para pemegang anugerah Citrapun seharusnya berkaca ke masa-masa sebelumnya. Masa kemarau panjang dua belas tahun, ketika para pengunjung bioskop Indonesia hanya berdecak mengagumi akting aktor yang tidak bercakap dalam bahasa sendiri. Masa-masa ketika bioskop dan televisi dipenuhi oleh wajah Eropa, Latin, atau India. Dalam hari-hari itu, anak-anak muda, konsumen utama tayangan televisi dan film bioskop, mulai beringsut dari kebudayaan negeri. Karena lebih banyak menatap ikon budaya asing yang dihembuskan lewat tayangan layar lebar dan layar kaca, anak-anak muda kita perlahan mencampakkan kepribadian diri. Mereka menjadi tak ubahnya seorang gemuk bercelana sempit, atau seorang kurus berkemeja gombrang. Itulah perumpamaan bagi generasi muda kita yang kehilangan watak dan kepantasan, sebab kehilangan kepribadian asli.

---

Dalam jangka dua belas tahun ini, film Indonesia sesungguhnya tidak benar-benar mati. Beberapa film Indonesia masih diputar oleh bioskop-bioskop kelas bawah. Dengan judul birahi dan pose seronok yang berkibar diantara gelaran dagangan kaki lima, film-film picisan itu masih rutin dijenguk, kendati oleh sedikit penonton. Dan pada tahun 2004 ini, melihat data Associated Press : produser film lokal seronok itu boleh membanggakan kontribusi yang diberikannya. Berkat sinergisitas mereka dengan core "bisnis birahi" lainnya, kini, Indonesia menjadi surga pornografi terbesar nomor 2 di dunia !

Atas dampak negatif dari potensi tutorial sebuah film, Aa Gym, salah seorang ulama modern Indonesia, pernah memperingatkan pihak-pihak yang terlibat dalam peluncuran film berjudul provokatif : "Buruan Cium Gue !" Riuhnya suara yang pro terhadap klaim tersebut, segera ditimpali oleh teriak kontra yang tak kalah riuh. Aa Gym dan para pendukungnya ditengarai telah mencampuri urusan kreatifitas, dan merentangkan tali kekang yang jauh lebih menjerat dari Lembaga Sensor Film (LSF). Himbauan itu ditentang oleh sekumpulan orang yang mengklaim diri sebagai pejuang "kemerdekaan berpikir dan berkreasi". Sinyal kebenaran itu tak sungguh-sungguh ditangkap dengan akal jernih dan prasangka baik. Maka, menyusul "Buruan Cium Gue", film "Virgin" yang jauh lebih panas dari pendahulunya, diluncurkan Star Vision pasca ramadhan tahun ini.

---

Dalam rentang sejarah perfilman Indonesia, larisnya sebuah film sebenarnya tidak ditentukan oleh muatan "birahi" semata. Dengan telaah yang teliti, kita akan menemukan bahwa belum ada film-film seronok yang melebihi kesuksesan "Tjoet Nyak Dhien" atau baru-baru ini, "Petualangan Sherina." Estetika, tema cerita, penggarapan yang serius, nyata-nyata lebih menentukan ketimbang pengumbaran syahwat atau serunya adegan laga. Kesuksesan "Tjoet Nyak Dhien" dan "Petualangan Sherina" dalam raihan penonton, membuktikan asumsi tersebut.

Jauh di barat sana, film-film pengumbar birahi juga tidak identik dengan ukuran kesuksesan dalam jumlah penonton. "Forrest Gump" film yang bertemakan kehidupan seorang idiot, "Gladiator" film dengan setting sejarah Romawi, "Lord Of The Rings" film kolosal yang diangkat dari novel Profesor Tolkiens, terbukti lebih diminati daripada film percintaan remaja atau film laga yang mencuatkan efek teknologi. Dalam ajang Piala Oscar ke-3 film tersebut juga mampu menyabet berbagai kategori, selain kategori bergengsi : The Best Picture.

Pengalaman Oscar mengajarkan kepada kita, bahwa apresiator dan pengamat film barat lebih menghargai film-film dengan tema sosial atau kemanusiaan, daripada film-film yang menampilkan realita kekerasan atau penyimpangan seksual. Dalam perebutan Oscar tahun 1994, "Forrest Gump" menumbangkan "Pulp Fiction"-nya Quentin Tarantino, sebuah film yang mengambil tema psikopatik dan kekerasan seksual. Dan pada tahun 2001, "Beautiful Mind" berhasil menyisihkan "Moulin Rogue", sebuah film dengan setting rumah pelacuran di era "wild-wild west." Lantas, darimana produser kita mengambil referensi, sebenarnya ?

---

Mulai tahun 2000, ditandai dengan kiprah sutradara muda Riri Riza dengan filmnya “Petualangan Sherina”, dunia perfilman Indonesia berangsur meninggalkan kecenderungan buruknya. Karya-karya serius mulai bermunculan. Poster film Indonesia dapat berkibar di bioskop-bioskop papan atas. Produser dan sutradara muda lainnya, Aria Kusumadewa, menjadi panutan para peminat film independen. Bak gerilyawan, film-filmnya yang mengangkat tema tak lazim, ditonton, didiskusikan, mulai dari kampus hingga komunitas-komunitas seni. Festival Film Independen, yang diikuti oleh ribuan judul film produksi mandiri sineas-sineas pemula, rutin diselenggarakan setiap tahun.

Mengisi era krisis tersebut, Garin Nugroho, sutradara dan produser garda depan Indonesia, menorehkan prestasi gemilang di berbagai event penghargaan internasional. "Cinta Dalam Sepotong Roti", "Bulan Tertusuk Ilalang", "Dongeng Kancil Tentang Kemerdekaan", dan beberapa film lainnya berhasil mengekspos kehidupan dan panorama Indonesia di luar negeri. Berkat kerja kreatifnya itu, wajah film Indonesia masih bisa eksis dihadapan pemirsa dunia. Sineas garda depan yang tumbuh sendiri diantara kecenderungan buruk dan kelesuan perfilman Indonesia ini, menjelang digelarnya FFI 2004, menghembuskan angin segar lagi lewat karya karya emosionalnya : "Rindu Kami Pada-Mu." Film tersebut menuai pujian dari para pengamat, cendekiawan, serta para ulama.

Data-data tersebut, rentang penantian itu, menunjukkan kepada kita bahwa penyangga kehormatan film Indonesia bukanlah film-film asal jadi. Bukan film-film yang menstimulus nafsu birahi, atau film sarat adegan laga yang menonjolkan kekerasan. FFI 2004 terselenggara karena mutu-mutu film Indonesia pada periode belakangan menunjukkan skala membaik. Rudy Soedjarwo, Dian Sastrowardoyo, Tora Soediro, Nia Dinata, Riri Riza, dan generasi baru perfilman Indonesia yang ditahbiskan sabtu lalu, pasti menyadari betul hal itu. Anugerah Citra yang mereka terima adalah sebuah reward atas pengabdian. Namun begitu, ini hanyalah sekedar sebuah awal. Pengabdian mereka masih perlu dibuktikan pada waktu-waktu mendatang. Karena mereka telah ditahbiskan sebagai para pengabdi, hendaknya mereka menyadari bahwa karya-karya berikutnya haruslah memuat pesan-pesan tuntunan. Tuntunan apa ? Tentu saja tuntunan kebudayaan. Realita itulah yang sangat prioritas sekarang ini, mengingat penyakit masyarakat kita berpangkal dari keruntuhan moral dan kemiskinan akan budaya. Film sebagai benda budaya menentukan ke arah mana suatu masyarakat hendak bergerak. Potensi tutorialnya mesti dikelola dengan kerja kreatif, kerja intuitif, dan sikap optimisme, agar mampu mengedukasi dan mengilhami masyarakat supaya membangun tatanan kehidupan ke arah lebih baik. Hanya dengan kesungguhan itulah sebuah film tak akan pernah pergi. Dari ingatan pemirsa, pekerjanya, dan ingatan dunia.

No comments: