Friday, July 08, 2005

Orang Betawi Setelah 478 Tahun

Ke bandar Sunda Kelapa, sedari lama, orang-orang menujukan biduknya. Mulai dari berabad-abad lalu, berbagai suku bangsa, datang dari seberang darat, laut dan udara- menjejakkan kaki harapannya diatas tanah Jakarta.

Di kota tertua di Asia Tenggara inilah banyak orang telah mengadu nasib. Bangsa Portugis, Jepang atau Belanda, pernah menduduki kota dan memusatkan pemerintahan kolonialnya di kota yang dulu berpenduduk cuma ribuan kepala. Orang Cina, Arab, atau kaum perantau nusantara -orang Jawa, Sumatera, Sulawesi dan lain sebagainya- pernah pula menguji peruntungan di kota yang pernah dinamai Jakarta Toko Betsu Shi, oleh pemerintah pendudukan Dai Nippon pada 60 tahun yang lalu. Meskipun kota dengan banyak sungai ini terletak pada dataran rendah, sehingga sedari dulu selalu rawan bahaya banjir dan rentan terjangkiti wabah, berduyun-duyun orang tetap datang untuk bermukim dan bekerja pada setiap jam, menit, dan detiknya- sebagaimana dituturkan dalam berbagai riwayat Jakarta lama.

Bekas peninggalan orang Belanda, Cina atau Arab jaman Batavia itu masih dapat ditemui di sekitar daerah Menteng, Veteran, Kemayoran, Glodok, Senen atau Jatinegara- dalam wujud beberapa bangunan lama. Menurut Alwi Shahab, penulis buku "Robin Hood Betawi", sampai paruh pertama abad ke-20, lokasi pemukiman penduduk masih dipisahkan berdasarkan kelompok etnis. Orang Belanda dan Eropa tinggal di daerah elit Riujswijk (Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda) dan kawasan Menteng. Kelompok Indo Belanda tinggal di kawasan Kemayoran, sehingga kemudian muncul istilah "Belanda Kemayoran."

Jika orang Belanda, Eropa dan Indo Belanda tinggal di kawasan elit, dengan rumah berupa villa-villa megah berhalaman luas, maka orang Cina dan Arab tinggal di kawasan niaga, dalam rumah sedang atau kecil yang menyempil diantara jalanan kampung, gang-gang sempit, baik yang sederhana ataupun sedikit kumuh. Orang-orang Cina tepatnya tinggal di pusat-pusat perniagaan Glodok, Senen, dan Meester Cornelis (Jatinegara). Sedangkan orang-orang Arab bermukim di sekitar Pekojan atau Krukut, yang dulu dan kini terkenal dengan sebutan kampung Arab.

Lalu dimana pemukiman pribumi asli, tempat tinggal orang-orang Betawi ?

Orang Betawi terdesak dari daerah Menteng dan tersebar kemana-mana. Saat kebijakan pengelompokan pemukiman berdasarkan kelompok etnis diterapkan, pribumi asli secara langsung ataupun tidak terpaksa keluar dari daerah tempat tinggalnya. Semenjak itu, mereka menyebar ke pelosok-pelosok, walaupun ada sebagian pula yang masih tinggal di pusat kota. Daerah pelosok kota tempat tinggal banyak warga Betawi berada di sekitar Depok, Condet, Kranji, Gandul atau sekitar daerah pantai.

***
Selain menerapkan kebijakan pengelompokan pemukiman berdasarkan kelompok etnis, guna memberangus kekuatan pribumi yang potensial menentang penjajahan, Belanda memanfaatkan superioritas orang Cina dalam lingkup usaha, untuk mengeliminasi potensi pribumi asli dalam hal perniagaan. Belanda memberikan hak istimewa kepada orang Cina, sekaligus menarik pajak dalam jumlah besar dari berbagai sektor perdagangan. Disamping itu, juga banyak pejabat VOC menyewakan tanahnya kepada orang-orang Cina. Orang-orang Cina bercocok-tanam tebu, cengkeh, jahe, kacang dan sayur mayur, selain beternak sapi, ayam, atau kambing di tanah sewaan tersebut. Bekas tanah sewaan yang merupakan perkebunan itu diabadikan menjadi nama daerah, sesuai nama komoditi yang dibiakkan ketika itu, semisal : Kebon Sirih, Kebon Kacang dan Kebon Jahe.

Ditekan oleh kebijakan-kebijakan penguasa yang menekan dan diskriminatif, kalah bersaing dalam hal perniagaan dari orang Cina dan Arab, pribumi asli tersingkir sebagai warga kelas dua. Kalah secara politik, kalah pula secara ekonomi. Dan Jakarta lamapun akhirnya menjadi surga bagi kaum penjajah, kaum pendatang- orang-orang yang datang dari jauh. Ketika Batavia dikuasai oleh birokrasi kolonial dan dikendalikan penuh oleh investasi luar, tak ada lagi prioritas bagi pribumi asli. Sehingga, kebanyakan dari mereka akhirnya hanya menjadi orang-orang upahan yang akrab dengan kemiskinan, atau paling banter : menjadi kaki tangan kompeni, menjadi centeng Tuan Tanah, menjadi herder pemodal besar.

Setelah 478 tahun berdiri, setelah pemerintahan kolonial Belanda pergi dan warga keturunan membaur dengan penduduk asli, apakah Jakarta kini menjadi lebih ramah, dalam pandangan penduduk asli, atau lebih luas lagi dalam pandangan warga negara Indonesia yang merantau dari kota-kota lain di seberang propinsi ? Jakarta kini ternyata masih dikendalikan oleh investasi asing. Rata-rata warga negara Indonesia bekerja giat, rela meninggalkan sanak keluarga di kota asal, sementara gaji yang mereka peroleh jauh lebih kecil dari alokasi dividen untuk investor-investor asing. Orang bodoh berpendidikan rendah, orang pintar berpendidikan tinggi, sama-sama diserap keringatnya oleh para pemodal besar. Mereka harus puas hanya menjadi orang upahan, menjadi budak industri, sedang upah kerja merekapun kembali ke kantung investor, mengingat betapa konsumtifnya rata-rata warga Jakarta.

Bila warga betawi asli tempo doeloe didesak pindah lewat penerapan kebijakan pengelompokkan pemukiman berdasarkan etnis, maka masyarakat miskin Jakarta masa kini mesti rela digusur, demi memuluskan program pembangunan fisik penguasa negeri. Atas dalih pelestarian lingkungan hidup, masyarakat-masyarakat yang tinggal di bantaran kalipun pernah terpaksa harus mengungsi, dan dipersilahkan berpikir sendiri : mau bertinggal di mana setelah bedeng kumuh mereka ditertibkan.

Masyarakat keturunan Betawi asli banyak yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah, masuk kelompok mereka yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Secara ekonomi maupun budaya, masyarakat Betawi kinipun termasuk kelompok yang kian jauh terpinggirkan. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang masuk dalam kelompok masyarakat berada. Padahal, sebagai warga asli, mereka seharusnya menjadi prioritas dan penikmat pertama "kue pembangunan", yang telah dan sedang digerogoti kaum koruptor, para birokrat licik, atau kelompok pengusaha rakus.

Pada ulang tahunnya yang ke 478, kota Jakarta masih tetap menarik perhatian banyak orang yang hendak mengadu nasib dan peruntungan. Masih banyak Urang Awak, Halak Batak, Nyong Ambon, atau Wong Jowo yang tengah melayangkan pandangnya ke kota Jakarta. Dan mungkin masih banyak pula, meneer-meneer, signor-signor, mister-mister, atau babah-kokoh yang berniat nimbrung adu kuat di arena "pertaruhan" Jakarta, sebagaimana berlangsung sejak 478 tahun lampau. Suatu saat nanti mereka akan datang dan bertarung memperebutkan tahta penaklukan. Dan saat mereka berhitung soal siapa pemenang atau lawan kuat : semoga saja orang Betawi tetap masuk dalam hitungan.

No comments: