Thursday, July 07, 2005

Crying Money

Dalam seminar bertajuk "Konferensi Menuju Indonesia Bebas Korupsi" di Universitas Indonesia beberapa tahun lampau, Prof. Emil Salim menyitir satu pengertian korupsi. "Korupsi adalah perilaku mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban."demikian bunyi definisi termaksud. Pada definisi yang disempurnakan dalam kredo Bank Pembangunan Asia dari konsep Transparency International, sebuah LSM yang meliputi 60 negara dan mengkhususkan diri pada usaha pemberantasan korupsi di dunia itu, terkandung beberapa pengertian pokok. Pertama, pengertian pokok dari definisi tersebut yalah bahwasanya mereka yang terlibat korupsi terdapat dikalangan pemerintah (birokrat), swasta (pengusaha), lembaga politik (politisi). Dua, mereka yang tercantum dalam butir pertama berupaya memperkaya diri sendiri, memperkaya orang-orang yang 'dekat' dengan mereka, atau merangsang orang lain untuk memperkaya diri. Memperkaya diri dalam pokok kedua ini, selain bisa berarti menumpuk harta, bisa juga berarti memupuk kekuasaan. Tiga, pokok yang terkandung dalam definisi korupsi dari konsep Transparency International adalah ketidakwajaran dan ketidaklegalan cara yang dipakai, misalnya dengan penyalahgunaan kedudukan oleh mereka-mereka yang termaksud dalam pokok pertama.

Sesuai kedudukan pelaku korupsi, nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa bernominal kecil, dapat juga bernilai besar. Jika uang atau barang yang diberikan hanya sekedar bermakna "persenan", yang diberikan ikhlas dengan bahasa "tanda terima kasih", maka uang/barang tersebut, menurut Prof. Emil Salim termasuk jenis "Smiling Money". Jika uang/barang yang terlibat ternyata disediakan atas dasar keterpaksaan- demi memenuhi prasyarat pelayanan, Prof. Emil Salim menggolongkan jenis uang atau barang tersebut sebagai "Crying Money." Dalam kasus Crying Money terdapat pihak penerima suap, yang memaksa pemberi suap atau calon pemberi suap agar menyerahkan sebentuk 'upeti', bagi kelancaran birokrasi. Bagi pihak penerima suap, baik suap berupa uang/barang dalam kasus Crying Money, faktor pembiayaan pekerjaan atau proyek akan terpecah kedalam tiga aspek perhitungan : perhitungan jangka pendek, jangka panjang, dan menurut kelakaran sunda- perhitungan "jang-ka imah." Secara etimologis "jang-ka imah" dalam bahasa Indonesia memiliki arti : untuk ke rumah. Dalam sebuah Studium Generale yang pernah saya ikuti, seorang rekan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pernah membuat plesetan untuk kasus praktek Crying Money tersebut. Rekan mahasiswa itu memelesetkan akronim UUDP dan UYHD sebagai : "uang untuk dibawa pulang" dan "uang yang harus dibawa pulang."
Setelah terjadi praktek Crying Money, pihak pemberi suap tentu tidak ingin nilai labanya menciut dari rencana semula. Uang pelicin atau pemancing sudah terlanjur diberikan. Ibarat fishing, seorang fisherman tentu saja tidak ingin ikan yang tersangkut oleh kailnya, lebih kecil daripada umpan yang dipasangkan pada mata kail. Pihak fisherman atau pemberi suap itu akan menurunkan mutu produk sampai beberapa tingkat, meminimalisir pelayanan atau mutu pekerjaan lebih rendah dari standar biasa, agar laba yang diraupnya tetap maksimal, meski telah mengeluarkan biaya pelicin. Selain menimbulkan ekonomi biaya tinggi, objek dari proyek atau infrastruktur yang akan dikerjakanlah yang paling menanggung rugi akibat praktek Crying Money. Ketika penerima suap, yaitu panitia proyek telah menikmati laba kolusinya, ketika pemberi suap tetap bisa meraup laba tinggi kendati telah mengalokasikan dana atas dasar terpaksa, maka giliran pengguna produk atau layananlah yang kerap menanggung rugi. Dengan kata lain, ketika birokrat-pengusaha-politisi telah menuai manfaat besar dari praktek Crying Money-nya, dilain pihak masyarakat malah tak terpuaskan dan tak terlayani secara maksimal, mengingat pengadaan produk maupun pelayanan jauh dari memenuhi standar.

Dalam penjelasan praktek Crying Money, ada kesan istilah tersebut hanya dianalogikan kepada pihak pengusaha saja, yaitu para penggarap proyek yang harus 'menangis', sebab terpaksa harus membayar biaya yang tak jelas asal-usul dan kegunaannya itu. Analogi tersebut sebenarnya bisa diterakan pula kepada masyarakat yang dirugikan oleh praktek kolusi antara birokrat-pengusaha-politisi. Masyarakat 'menangis', karena akibat praktek Crying Money, pembiayaan yang seharusnya dikeluarkan birokrat untuk mencukupi diri mereka, malah digunakan untuk membayar kontraktor atau untuk dibagi dua dengan pihak pengusaha sebagai rekanan pemerintah. Masyarakat yang seharusnya menikmati pelayanan kelas A, malah harus puas menikmati pelayanan kelas C. Rakyat yang berhak atas produk kualifikasi A, malah harus menikmati produk kualifikasi D. Padahal, untuk pengerjaan fasilitas pelayanan atau pengadaan bahan-bahan logistik kebutuhan pokok, misalnya, pemerintah tetap membayar seharga produk kelas A atau pelayanan kelas A kepada pihak rekanan. Praktek Crying Money dengan begitu mengandung dampak besar : mass destruction, atau kerusakan massal. Artinya, kualitas hidup masyarakat yang seharusnya dikelola dengan baik, menjadi tergadaikan demi keberlangsungan sebuah praktek kecurangan.

The Political And Economic Risk Consultancy (PERC) mentahbiskan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Sebuah fakta yang tak terbantahkan, mengingat korupsi di Indonesia berdasarkan banyak temuan memang berurat-mengakar, bahkan mulai dari strata masyarakat bawah. Gerah oleh pentahbisan PERC, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kiprah lembaga tersebut tengah menjadi buah-bibir sekarang ini, terutama sejak kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencuat ke permukaan. Walaupun aktivitas KPK masih juga dipandang apriori oleh sebagian masyarakat, mengingat pengalaman orde pemerintahan sebelumnya lembaga-lembaga bentukan lebih berpihak pada kepentingan pribadi ketimbang kepentingan umum, usaha pengentasan korupsi itu tetap harus disyukuri oleh masyarakat yang selama ini menjadi korban praktek korupsi, khususnya Crying Money. Seluruh bangsa Indonesia tentu juga tak mau berlama-lama menyandang cap 'bangsa terkorup' ; 'bangsa dua ekstrem' (istilah Prof. Johanna Inewatsky, dari artikel S. Subagija). Yaitu, sebuah bangsa yang berusaha sekuat tenaga menjadi bangsa agamis, namun dilain pihak masih melakukan praktek kecurangan secara sadar. Karena itulah, minimal masyarakat kita mendukung upaya KPK dengan doa : "semoga pelaku-pelaku kecurangan bisa segera diatasi, dan uang rakyat yang telah mereka rampok bisa kembali ke kas negara." Dalam konteks doa tersebut, Crying Money dengan demikian berlaku pula sebagai analogi untuk para birokrat, dalang berbagai praktek kecurangan yang telah menyengsarakan negara dan masyarakat. Bukan mustahil, ketika tangis masyarakat yang sakit sudah mereda, giliran para koruptorlah yang menangis menyesali akibat kecurangan dan kejahilannya sendiri.

No comments: