Friday, July 08, 2005

Membaca Tragedi

Sembilan belas tahun lampau, Virgiawan Listianto, musisi balada yang populer sebagai Iwan Fals dan kerap disapa Bang Iwan oleh simpatisan OI - organisasi fans club Iwan Fals- menggubah lagu "Ethiopia." Lewat speaker mini compo sederhana, dari speaker mono radio transistor, lagu itu mengalun pelan mulai dari kamar-kamar rumahan hingga menyeruak keras diantara ramai terminal transit. Dihari-hari 19 tahun lampau ketika lagu "Ethiopia" begitu populernya, seorang pengamen, remaja tanggung, bahkan anak-anak usia sekolah dasar kerap bernyanyi : "dengar rintihan berjuta kepala/ waktu lapar menggila/ hamparan manusia tunggu mati/ nyawa tak ada arti/ kering kerontang meradang/ entah sampai kapan/ datang tikam nurani..." Entah dengan parau atau merdu, ada saja terdengar orang melantunkan lirik penderitaan itu. Tak melulu dalam sedih atau dengan penghayatan mendalam terhadap lirik lagu, kadang ada juga diantara mereka yang melantunkan lirik itu penuh sukacita. Seolah repertoar yang mereka nyanyikan hanya sekedar theme song pengiring api unggun, atau lagu scoring acara begadangan percuma.

Tiga puluh tiga tahun silam, Wahyu Sulaiman Rendra, penyair besar berjuluk "Si Burung Merak"-pun pernah mengabarkan duka yang sama. Dalam "Doa Orang Lapar", salah satu sajak yang dimuat pada kumpulan "Sepatu Tua", kita diajak untuk meresapi penderitaan mereka yang papa. Melalui sajak panggung itu beliau membujuk kita untuk menekuri pengaduan mereka kepada Tuhan, selain mendengar teriak mereka yang parau sebab perut yang perih sangat : "... o Allah ! betapa indahnya sepiring nasi panas, semangkuk sop dan segelas kopi hitam. o Allah ! kelaparan adalah burung gagak, jutaan burung gagak, bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga-Mu."(Doa Orang Lapar, Sajak Sepatu Tua, Pustaka Jaya, 1972)

Ketika mendengar "Ethiopia" mengalun dari tape cassette recorder, mungkin terbayang oleh kita : hamparan gurun pasir gersang, beberapa batang pepohonan ranggas, dengan tubuh kering busung terbaring disorot matahari Afrika. Terbayang oleh kita lalat-lalat yang tengah "berdansa cha-cha", juga burung-burung bangkai yang terbang berhamburan dari sisa iga tubuh manusia. Wangsa Vultura itu memutar dan mengitar. Terbang seliweran diatas kepala bocah hitam telanjang dada, yang dengan wajah perihnya- dengan mata kuyunya, menatap kearah kita. Memohon pengasihan.

Andai keharuanlah yang menyeruak disaat kita tengah atau telah mendengar "Ethiopia", maka kepahitan dan kemarahanlah yang mengemuka disaat kita selesai membaca "Doa Orang Lapar." - betapa indahnya sepiring nasi panas, semangkuk sup, segelas kopi hangat,...- teriak Rendra pada satu malam pembacaan puisinya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada tahun 1970-an. Membaca bait berikutnyapun - "...dan kelaparan adalah burung gagak, selalu menakutkan. Kelaparan adalah pemberontakan, adalah penggerak gaib, dari pisau-pisau pembunuhan, yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin.."- pemirsanya dibuat terkesima, tersentak dan tergerak. Menginsyafi perbuatan yang bakal dilakukan mereka yang lapar, kala desak kebutuhan itu sudah tak mungkin ditunda-tunda lagi.

***
Perasaan kita cenderung tergugah dikala menyimak karya besar seniman negeri. Dan memang karena efek gugah tersebutlah seorang seniman dan karyanya berhak dihormati. Tapi jarang kita menyadari hakikat, bahwa apa yang termuat dalam karya mereka merupakan manifestasi keadaan lokal. Apa yang dinyanyikan Bang Iwan dan apa yang dideklamasikan penyair Rendra seakan sebuah pemandangan jauh, deskripsi keadaan jauh di negeri seberang, negeri yang asing, "tumaritis" atau bahkan sebuah negeri antah berantah. Begitulah terkaan kita.

Ketika kita tidak keburu "ngeh" atau menyadari bahwa apa yang dituturkan adalah keadaan sekitar kita -kemiskinan, kelaparan, yang berujung pada anarki atau kematian akibat penyakit- sang tiranpun lalu menyumbat mulut para seniman, mencekal pementasan karya seni, lalu menunjuk kritik halus mereka sebagai kalimat subversif. Dengan mencekal para seniman, secara tak langsung rejim tirani berusaha mematikan hati nurani rakyat. Kabar kemiskinan dari daerah-daerah terpencil ditutup oleh berita pembangunan dan prestasi-prestasi ekonomi yang "lipstis." Ungkapan kalimat yang jujur dari si papa, curahan hati mereka yang payah karena kemelaratan, kalah keras dari suara-suara kelompencapir yang sukses di wilayah percontohan, kalah merdu dari janji muluk konglomerat yang sedianya mau menjadi "bapak angkat." Pandangan kita akhirnya tak mampu menjangkau mereka yang sangat membutuhkan perhatian.

Maka, saat kita berbicara soal relasi antara kemiskinan dan kelaparan, hanya Sudan, Liberia, Ethiopia, atau negara-negara Afrika lain yang masuk dalam perhitungan. Waktu kita berbicara soal penindasan, anarki dan pengganyangan, cuma Palestina, Libanon, Afghanistan, Irak, atau El Salvador saja yang kerap menjadi topik perbincangan. Jarang terpikirkan oleh kita, di bumi yang "gemah ripah loh jinawi" ini, bakal ada orang yang mati karena kelaparan, membunuh karena kemiskinan, dan menjarah karena tak tahan dirundung kemelaratan.

***
Sejarah Indonesia pasca reformasi mencatat : ditengah kebanggaan pemerintah atas pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diantara "adigang-adiguna"-nya kita sebab pembangunan berhasil menciptakan kota-kota metropolis, kerusuhan meledak di Jakarta pada mei 1998. Dari pelosok daerah kumuh di seantero ibukota, rakyat miskin bergerak menuju areal-areal vital yang strategis. Berbagai infrastruktur kota dirusak, pusat perbelanjaan dijarah, dan pada puncaknya perbuatan vandalisme tersebut mengorbankan saudara-saudari kita yang sebetulnya tak berhak menuai balasan ketidak-adilan. Mengertilah kita, walau sangat terlambat, bahwa rakyat miskin yang tampak lemah tak berdaya itu mampu mencetuskan perlawanan. Dengan cara yang sangat brutal, sangat sadis, sehingga kerusakannya melampaui perkiraan kita yang lama menutup mata dari kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Dan lama setelah episode kekerasan itu berlalu, kaleidoskop Indonesia tahun 2005 inipun kelak akan merekam sebuah kejadian luar biasa- wabah penyakit busung lapar atau kuasiokor, kasus yang ternyata masih bisa ditemukan di negeri yang konon "gemah ripah loh jinawi" ini.

Menyaksikan orang miskin di kota menjarah dan membakar toko, mendapati anak-anak balita kelaparan, kurang gizi, lantas mati karena busung lapar yang parah, batin kitapun bertanya : apa saja hasil pembangunan kita selama ini ? ; kemana perginya hasil bumi ? Sehingga ada anak negeri yang mesti sakit dan mati sebab kekurangan gizi.

Kekagetan kita mendengar kabar busung lapar (kuasiorkor) dari sebuah daerah yang terkenal sebagai lumbung padi, keterkejutan kita membaca berita kematian kanak-kanak karena wabah tersebut di koran pagi, apakah juga merupakan sebuah amsal : betapa kita (rakyat dan pemerintahnya) telah lama menafikan suara-suara peringatan, buta akan huruf-huruf penyadaran, yang digubah dan ditulis khususnya oleh maestro dan pujangga negeri, seperti penyanyi balada dan penyair humanis yang disebut pada awal tulisan ?

Sikap kita yang kerap menganggap enteng dan tabu ekspresi seni, adalah satu pertanda kematian hati nurani. Sebelumnya kitapun sudah mematikan akal sehat kita, ketika kita berusaha membuat laju pertumbuhan ekonomi tinggi, tanpa memikirkan rencana distribusi merata dalam agenda perbaikan pemenuhan kebutuhan hidup. Melihat kenyataan itu, ternyata tak hanya seniman dan budayawan yang dianggap sekedar komplementer di negeri ini. Kitapun mengabaikan usul dan peran teknokrat yang sebetulnya sangat progresif dan elementer sebagai penopang kelangsungan negara. Bila begitu kenyataannya, apalagi yang bisa diandalkan dari bangsa yang telah kehilangan hati nurani sekaligus akal sehatnya ?

***
PBB menengarai pemanasan globallah yang menyebabkan banyak daerah Afrika dilanda musim kering yang panjang. Kekeringan yang memangsa tanaman pangan, sehingga banyak penduduk terutama balita yang kelaparan, kurang gizi, lalu mengalami defisiensi protein dan karbohidrat. Keadaan inilah yang menyebabkan bayi dibawah 3 tahun menderita busung lapar sampai kemudian menemui ajal.

Kondisinya menjadi ironik, saat kita mengalihkan pandangan dari tanah Afrika yang gersang ke bumi Indonesia yang hijau. Di tanah negeri kita yang katanya subur, seharusnya tak ada seorangpun yang sakit atau sekarat sebab menahan lapar yang panjang. Namun pada kenyataannya, di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, bahkan sebuah daerah lumbung padi di Makassar, ditemukan banyak kasus busung lapar, dengan beberapa diantaranya berujung pada kematian. Lantas dengan apa lagi kita bisa menyangkal, bahwa kita sudah kehilangan akal sehat dan hati nurani ?

Kini waktu yang darurat bagi kita untuk mulai "menengok ke dalam." Mengenali keadaan negeri sendiri dengan telik dan teliti, menekuri kejadian demi kejadian agar kita kembali mawas diri. Tak perlu kita euphoria menanggapi maraknya penyelidikan kasus korupsi. Tak usah ge-er menanggapi janji soal kompensasi, apalagi berbangga diri atas prestasi-prestasi pembangunan yang semu. Inilah saat darurat untuk membuka hati, telinga dan mata kita. Agar tak ada isyarat atau tanda ketidak-beresan yang masih terabaikan. Mari membaca keadaan. Sebab hati yang mati, mata yang malas, telinga yang tuli, hanya akan membuat kita senantiasa membaca tragedi.

No comments: