Thursday, July 07, 2005

Parit Van Java

Sejak pukul 16.00 WIB, hari minggu lalu (20 Februari 2005), seluruh wilayah Bandung diguyur hujan besar. Petir sahut-menyahut membuat kecut anak kecil, membikin banyak penduduk khawatir. Langit sudah gelap pada minggu sore itu. Pekat sekali. Dan di jalan-jalan utama, para pengendara yang baru selesai berakhir pekan, terjebak dalam banjir dan kemacetan.

Biasanya hujan besar turun cuma sesaat. Tapi sore itu, air bak tumpah begitu saja dari langit. Gelontoran air yang dicurahkan tak kunjung berubah menjadi rintik-rintik. Meluaplah selokan. Menghamburkan sampah plastik : botol air mineral, gelas wong coco, dan wadah pepsi cola. Kemasan minuman itu bergumul diantara cileuncang, air besar dari gorong-gorong kota, yang juga mengandung jaram bangkai tikus dan kotoran manusia. Kota bau anyir. Dan pasir, lumpur, batu, lengket jadi satu. Berserak di badan dan bahu jalan Kota Bandung.

Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB, ketika hujan tak kunjung reda, dan angin berhembus kencang meniup dahan serta batang pohon-pohon besar. Pohon-pohon tua yang lapuk segera bertumbangan. Satu mobil keluarga rusak berat, satu mobil angkutan kota "kehilangan moncong", dan di jalan-jalan utama kota, sampai menuju daerah kabupaten, pohon tua yang tumbang itu melintang ditengah-tengah jalan raya. Lalu lintas terhambat. Sedangkan air bak ribuan pasukan Mongol yang mengepung tembok kota Siangyang ; siap menyerbu masuk dari segala penjuru. Siap membenamkan kota Bandung beserta kabupaten-kabupaten yang padat mengelilingi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, air sungai : Citarum, Cisangkuy, Palasari, Citepus, meluap dahsyat di Bandung Selatan. Air coklat setinggi 30 senti hingga 2 meter membenamkan Kelurahan Pasawahan, Desa Cangkuang Wetan, Desa Dayeuhkolot, dan Desa Citeureup. Di Bandung Timur, anak Citarum : sungai Citarik, Cimande, Cibodas, Citarik, dan Cijalupang ikut meluap dahsyat. Sehingga, dari depan Masjid Raya Rancaekek, bisa disaksikan : air coklat setinggi dada orang dewasa menggenangi jalan, menenggelamkan rumah-rumah penduduk.

Sejak malam kejadian, masyarakat beramai-ramai mengungsi dari rumah mereka yang tergenang air. Dengan cara berperahu, berenang, hingga memanjati pagar-pagar rumah, mereka berusaha keluar dari daerah yang terbenam. Bala bantuan dari kota tidak mudah memasuki kawasan bencana itu. Jalur kabupaten dan kota putus. Kawasan Bandung Selatan terisolir. Tahun ini, banjir yang datang, memang jauh lebih besar dari kejadian tahun sebelumnya.

Angin musibah ternyata tak hanya berhembus di titik selatan dan utara kota. Di sebelah barat Bandung, karena guyuran hujan lebat dua hari berturut-turut, longsor sampah terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwigajah, Cimahi Selatan. Sekitar pukul 02.00 WIB, diawali dengan suara gemuruh yang menggetarkan, gunungan sampah di TPAS itu rubuh, terseret lebih dari 10.000 meter, menabrak rumah-rumah yang ada di sekeliling lokasi. Maka, di Kampung Gunung Aki, Kampung Cilimus, serta Kampung Pojok, puluhan rumah tertutup tanah dan sampah, bersama ratusan warga yang meninggalinya. Diperkirakan, lebih dari seratus orang meregang nyawa dalam kejadian tersebut.

Artikel bertanggal 1 Desember 2004 di situs milik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) sebetulnya telah menjelaskan : ancaman bencana alam di Bandung telah mencapai lebih dari 200 titik. Rata-rata terletak di kabupaten-kabupaten yang mengelilingi Kota Bandung. Kabupaten Bandung merupakan daerah yang memiliki karakter tanah yang gembur. Dampaknya? Memasuki musim penghujan tahun ini, ancaman bencana alam di seluruh wilayahnya mencakup 272 titik. Rinciannya : 81 titik banjir, 185 titik longsor, serta enam titik gempa bumi. Meluasnya ancaman bencana itu, menurut keterangan artikel tersebut, dipicu oleh kerusakan lingkungan serta infrastruktur saluran irigasi.

Pejabat Kepala Kantor Kesbang Linmas Kabupaten Bandung saat itu, Drs. Edin Hendradin, mengatakan," Di lokasi yang rawan longsor, banyak penduduk berumah di pinggir tebing curam. Sementara di lokasi yang rawan banjiran, banyak warga yang tinggal di daerah pinggiran sungai." Edin sendiri menyatakan bahwa pihaknya telah menghimbau masyarakat yang berdiam di kawasan itu untuk lebih waspada, memasuki musim penghujan tahun ini.

"Para aparat Linmas sudah diperintahkan untuk non-stop berjaga-jaga. Kesbang Linmas sendiri sudah menyiapkan alat-alat penanganan bencana. Seperti tenda peleton, perahu karet, mesin penggerak, dapur umum, juga blankar."jelas Edin. "Bahkan, kita juga sudah menyiapkan 11 barak penampungan korban bencana alam. Barak tersebut, kita lokasikan di Dayeuhkolot, Solokanjeruk, Bojongsoang, juga Pangalengan."

Dalam kasus longsoran sampah di TPAS Leuwigajah, warga sekitar sebetulnya pernah diingatkan oleh para peneliti asal LIPI dan IPB, untuk segera pindah dari kawasan tersebut. Gretter Bandung Waste Management Corporation (GBWMC), kantor konsultan Planologi yang sempat melakukan riset di wilayah itupun telah merekomendasikan : sebaiknya warga cepat-cepat direlokasi dari daerah itu. Disebabkan oleh banyak warga yang sudah meninggali kampung sekitar jauh sebelum TPAS ada, serta keputusan relokasi dari Pemkot yang urung dari kejelasan, daerah rawan bencana longsor itu masih juga ditinggali penduduk. Mereka enggan berpindah dari lokasi itu, sampai akhirnya tragedi yang memilukanpun terjadi.

Dari pengalaman bencana banjir dan longsor yang terjadi di kawasan Bandung dan sekitarnya, kita bisa melihat : ketimpangan antara sistem peringatan dan sistem pencegahan/ penanggulangan bencana di lingkungan pemerintah kota. Signal yang sampai sering tidak disikapi secara tanggap dan cepat oleh pihak-pihak terkait. Mungkin padatnya kesibukan, telah mengalihkan fokus aparat bersangkutan dari prioritas yang perlu diseriusi dan ditangani. Mungkin sebab kesibukan pula, aparat terkait tak mampu lagi menentukan skala prioritas. Lantas, pertanyaannya, kesibukan apa yang membuat aparat Pemkot, Pemkab, dan Pemprov lupa, atau bahkan tidak mampu menentukan skala prioritas masalah yang akan ditangani, dari pengalaman bencana banjir dan longsor di Bandung sekitarnya ini ?

Pemerintah beserta warga Bandung dan sekitarnya tampaknya perlu memperhatikan peringatan para pakar dan pemerhati lingkungan, dengan seserius mungkin. Signal-signal dari kalangan para pemerhati tersebut mesti dijadikan pedoman, baik dalam penentuan kebijakan maupun perlakuan warga kota terhadap alam, lingkungan hidup, sebagai naungan tempat mereka tinggal. Peristiwa bencana banjir dan longsor di hari-hari belakangan ini membuktikan betapa warga kota, pemerintah kota, kabupaten, propinsi yang terkait, tidak sungguh-sungguh menyerap dan mengolah informasi dari kalangan periset, pemerhati, yang notabene adalah konsulen lingkungan hidup.

Sikap atensi itu juga yang perlu dikedepankan oleh Pemprov, Pemkot, seluruh warga kota Bandung dalam menyikapi pro kontra seputar pembangunan kawasan Punclut. Bukan tanpa alasan, para pemerhati dan pencinta lingkungan merasa waswas atas lahirnya kebijakan Pemkot Bandung berkenaan dengan pembangunan kawasan Punclut itu. Bukan tanpa pemikiran realistik, mereka mencurigai niatan pihak swasta sebagai pengembang, yang umumnya mengedepankan peraihan laba. Dan bukan tanpa bukti, mereka mengkhawatirkan efektivitas pengawasan dari jajaran pemerintahan. Setidaknya pengalaman bencana banjir dan longsor saat ini, telah menegaskan kebenaran atas kekhawatiran mereka tersebut. Alangkah arifnya jika tidak hanya para pakar dan pemerhati lingkungan saja yang begitu khawatir, bahwa suatu saat kelak Bandung "Parijs Van Java" berganti julukan menjadi "Parit Van Java."

No comments: