Friday, July 08, 2005

Jalan Nasib Petani Kecil

Pernah Abah berkisah, tentang petani-petani Priangan yang terpaksa harus pindah, sebab tanah garapan mereka akan ditanami pohon kelapa sawit. Hektaran kebun kelapa sawit akan dibuka, menggantikan rimbun palawija garapan mereka. Begitulah rencana para pembesar di ibukota.

Awal mulanya, para petani enggan meninggalkan tanah priangan. Kendati penguasa negeri telah menjanjikan tanah dan kesejahteraan bagi kaum transmigran, para petani tetap tak mau pergi. Tanah kelahiran memberatkan langkah mereka untuk pergi. Walau hanya sepetak tanah warisan turun-temurun, hidup di tanah kelahiran membuat keluarga petani bahagia. Hasil tanahnya mencukupi pangan keluarga sehari-hari, bisa mengenyangkan perut abah, ambu dan anak-anaknya. Hidup keluarga petani di sana memang bersahaja. Walaupun begitu, berkah tersebut mereka syukuri dengan sepenuh jiwa. Asal kumpul dengan keluarga, meski setiap hari makan berlaukkan sekedar sambal-lalab-ikan asin saja, tak jadi soal buat mereka.

Setelah bujukan dan janji manis tak mampu membuai, penguasa lalu mengerahkan kekuatan aparat dan birokrasi. Satu-dua kali penyuluhan Kuwu atau Camat dalam bahasa tegas, satu-dua kali shock therapy dari aparatur, sehingga akhirnya para petani tak betah lagi bertinggal di desa kelahiran. Cekaman ketakutan membuat mereka terpaksa memilih : merantau ke pulau jauh sebagai kaum transmigran, pergi mengadu nasib ke kota sebagai kaum urban.

***
Di kota, keluarga petani yang tersingkir menghidupi diri dan keluarga dengan bekerja serabutan. Sang ayah bisa menjadi tukang, pedagang bakso keliling, membuka lapak cukur onder de boom (bawah pohon) atau membuka jasa tambal ban. Semuanya pekerjaan diluar bertani, karena di kota tak banyak lagi lahan buat bercocok-tanam.

Tak jarang, sebab desak kebutuhan di kota jauh lebih besar dari kebutuhan hidup mereka di desa, sang ibu dan anak ikut membantu sang ayah dalam mencari nafkah. Dengan modal seadanya sang ibu ikhlas menunggui sepetak kios, membuat aneka penganan untuk dititipkan di warung-warung, sampai bersedia menjadi pembantu di rumah gedong atau menerima cucian tetangga. Si anak, sang 'buah hati'-pun tak mau ketinggalan. Melihat betapa keras dan gigih ikhtiar ayah dan ibu, batinnya terpanggil untuk membantu. Dengan bekal tekad untuk meringankan beban orangtua, iapun sudi berpanas-panas menjajakan koran, berdagang kue sampai ke pelosok-pelosok kampung, bahkan ikut mengamen di lampu merah persimpangan. Jejak kaki yang dulu tercetak pada lumpur pematang itu, kini membekas diatas panas aspal jalanan kota. Jalan raya yang selalu sibuk, dengan para pengendara yang selalu 'mabuk' sebab hiruk-pikuk.

Jauh di seberang Pulau Jawa, kaum petani transmigran berhadapan dengan alam asing yang murni perawan. Perawan angkuh yang menunggu untuk ditaklukkan. Di kaki bukit-bukit tinggi pegunungan Papua, diantara rapat hutan belantara Sumatera dan diantara rawa-rawa gambut pedalaman Kalimantan, mereka datang, bermukim dan bekerja.

Berbeda dengan semasa mereka hidup di tanah kelahiran, ketika petak sawah terbentang tinggal menunggu benih untuk ditaburkan, para petani transmigran perlu menguatkan tangan dan hati untuk membuka lahan. Selagi tubuh mereka berusaha menyatu dengan iklim sekitar yang tak biasa, mereka tetap harus berupaya menyiapkan tanah tempat benih tanaman kelak dibesarkan. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, petani transmigran berusaha lolos dari seleksi alam. Ada yang berhasil, tapi lebih banyak yang menemui kegagalan. Gagal membesarkan bulir-bulir yang telah disemai, sebab lahan pertanian mereka sebetulnya tak layak digunakan untuk bercocok tanam.

"Lahan di sini sebetulnya sangat tak layak untuk ditanami. Pupuk bisa saja menyuburkan tanah ini. Tapi hasil dan biaya pemupukan yang dikeluarkan tentu saja tidak sebanding."keluh seorang transmigran, sebagaimana Abah pernah membacanya di surat kabar pagi.

***
Itulah nasib para petani kecil yang terpaksa harus pergi dari tanah kelahiran. Matahari desa yang terik tapi menghangatkan, telah diganti matahari kota yang menyengat dan memerihkan. Harum humuspun telah berganti bau asap knalpot atau lendir lumpur rawa yang kerap membuat mual. Tak ada lagi kicau burung, senda gurau, tanda keriangan alam dan keluarga petani disaat memasuki masa-masa panenan. Yang tampak di pelupuk mata mereka hanyalah : derap kota yang keras, rimbunan hutan, dataran asing yang tak subur.

Terlepas dari semua keprihatinan dan nasib buruk petani yang telah menjadi kaum urban atau kaum transmigran itu, banyak masyarakat negeri yang bisa mengambil teladan keuletan dan kegigihan mereka dalam bertahan hidup. Kendati banyak dari mereka yang tampak kalah atau terpuruk, sama sekali bukan alasan bahwa pengalaman mereka tak patut kita jadikan sebuah cermin. Justru pada peringatan Hari Krida Pertanian tanggal 21 Juni 2005 ini, ditengah gembar-gembor janji revitalisasi pertanian yang diungkapkan pemerintah beberapa hari lalu, sungguh sangat relevan bila kita duduk bersama mencari solusi pengentasan nasib kaum petani urban atau transmigran tersebut. Melihat upaya gigih, kejujuran, keuletan dan keikhlasan mereka dalam bekerja, setidaknya dapatlah kita menduga : merekalah sumber daya utama yang bakal besar daya dukungnya bagi program revitalisasi yang dicanangkan kemarin dulu.

Memang sudah waktunya pemerintah menghapus dosa rejim lama yang kerap mengabaikan nasib petani kecil. Melalui program konkret yang menjamin kesediaan lahan garapan, perlindungan penuh terhadap petani, kebijakan harga yang adil, pembatasan impor hasil pertanian, juga subsidi yang memadai, sektor pertanian akan kembali menggeliat dan kelak bisa menjadi inti pertumbuhan ekonomi nasional. Sebuah harapan yang wajar, tentunya. Dari anak negeri yang konon termasuk negeri agraris ini.

No comments: