Thursday, July 07, 2005

Ironi Dibalik Polio

Dalam satu kesempatan perjalanan dinas ke Jawa Tengah tahun 2002, salah seorang staf Menteri Kesehatan, Dr. I Nyoman Kandung, mengemukakan harapannya bahwa Indonesia pada 2003 akan bebas dari penyakit polio. Upaya pemerintah untuk meraih sertifikat resmi WHO sebagai negara bebas polio, diunjukkan pula lewat pencanangan program PIN, atau Pekan Imunisasi Nasional yang digalakkan pada tahun 2002 tersebut. Meskipun kasus polio terakhir ditemukan pada medio 1995 di daerah pesisir utara Cilacap, tak ada kata lengah bagi pemerintah. PIN diselenggarakan dan disosialisasikan via televisi sejak 1995, berlanjut pada tahun 1996-1997, dengan artist promo : Rano Karno, pemeran utama serial "Si Doel Anak Sekolahan."

World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia) telah menetapkan kesepakatan global bebas polio untuk tahun 2000. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut, saat sidang majelis tahun 1988. Namun pada tahun 2000, saat India yang ikut menyepakati eradikasi global menemukan beberapa kasus penyakit polio di lokal negaranya, Dr. Ahmad Sujudi-pun sudah memendam firasat tak enak. Menurunnya kinerja surveilans AFP dan kemungkinan adanya akumulasi anak yang tak terlindungi imunisasi polio-lah, yang membuat Menteri Kesehatan Kabinet Persatuan Nasional itu pesimis- bahwasanya Indonesia betul-betul clean dari virus polio.

Indonesia dan negara-negara rawan polio lainnya sebenarnya telah mencanangkan strategi untuk melibas virus penyebab lumpuh layu itu. Departemen Kesehatan RI menentukan tiga strategi utama, yaitu : mempertahankan cakupan imunisasi polio rutin yang tinggi, pencanangan Pekan Imunisasi Nasional, serta pelaksanaan surveilans AFP. Dr.Indriyono Tantoro, Direktur Epidemiologi Imunisasi dan Kesehatan Matra Departemen Kesehatan, melihat ada yang tidak berjalan lancar dalam pelaksanaan ketiga strategi itu. Transisi kekuasaan, krisis poleksosbud yang berlarut, memadamkan fungsi seluruh infra-struktur yang memungkinkan strategi berjalan sesuai rencana. Pergantian petugas secara besar-besaran, juga ketersediaan dana survei dan pengelolaan kesehatan yang tidak memadai, bisa juga ditengarai sebagai salah satu penyebab kegagalan Indonesia dalam eradikasi penyakit polio. Kekhawatiran dari Menteri Kesehatan RI lima tahun lampau, serta prediksi dari ahli epidemiologist terkemuka yang namanya masuk dalam daftar ahli di ASEAN Disease Surveillance-net itu, menjadi kenyataan pada medio mei 2005 ini. Bermula dari temuan kasus di Desa Giri Jaya, Sukabumi, Jawa Barat, 8 orang bayi nyata-nyata telah terinfeksi virus penyebab lumpuh layu ini. Keterangan yang disiarkan oleh Metro TV mensinyalir : virus polio tersebut berasal dari Nigeria dan terkenal dengan sebutan virus polio Afrika. Para jemaah haji dan TKI yang pulang dari Saudi Arabia adalah person-person yang diduga kuat membawa baksil ini ke tanah air.

Belum ada antivirus ampuh untuk mematikan kuman polio ini. Terapi cepat hanya diterapkan guna meminimalisir dampak penyakit terhadap penderita. Menurut Dr. Umar Zein, Kepala Pusat Pelayanan Khusus RSUP H. Adam Malik, Medan, Sumatera Utara, zat imunoglobine yang disuntikkan kedalam tubuh pasien hanya berguna untuk mengurangi jumlah virus dalam tubuh. Bukan memulihkan tubuhnya dari kondisi kelumpuhan, kendati upaya tersebut setidaknya cukup efektif memperpanjang usia pasien penderita.

Pencegahan dan fisioterapi merupakan jalan terakhir. Pemberian vaksin polio secara massal, adalah kiat preventif yang bisa ditempuh oleh tenaga medik. Vaksin polio buah riset Jonas Salk pada tahun 1950 itu, mesti diberikan melalui oral kepada bayi usia 3 bulan, 3 kali pemberian, dengan tenggat vaksinasi 4 sampai 6 minggu. Bagi pasien yang telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi perangkat tubuh, Persatuan Dokter Anak Indonesia mengeluarkan rilis pernyataan : supaya para penderita segera bisa di-fisioterapi. Dengan memberi mereka fisioterapi, kaki yang sudah lumpuh tersebut bentuknya tidak akan jauh berbeda dengan kaki normal. Diantara metode fisioterapi yang terkenal, metode OEFENTHERAPIE-MESENDIECK merupakan cara yang banyak ditempuh untuk pemulihan pasien polio.

Ditemukannya lagi virus polio dengan endemik Indonesia, sebetulnya tidak hanya berakhir pada pembahasan medical technic belaka. Step pencegahan dan pengobatan penyakit poliomyelitis sendiri sudah berkembang sedemikian rupa, bahkan Majelis Kesehatan Dunia memberikan perhatian lebih dengan ketetapan eradikasi global polio-nya di tahun 1988. Artinya, penanganan secara medis sudah di standarisasi, komitmen antar negara sudah disepakati : -POLIO MESTI LENYAP DARI MUKA BUMI-. Lantas adakah yang terlupa, sehingga virus maut tersebut menyibakkan lagi wajah mautnya ? Pendapat epidemiolog Indonesia, Dr. Indriyono Tantoro, tampaknya menuntut pihak-pihak yang haus uang dan kuasa, yang selalu berupaya mendestabilkan negara ini buat maksud-maksud tertentu, agar kembali mawas diri. Destabilisasi politik membuat pemerintahan tidak bisa betul-betul fokus menangani permasalahan inti. Perampokan uang negarapun membuat pemerintah serba kekurangan dana, bahkan tak sanggup memenuhi pembiayaan sektor primer seperti : kesehatan dan pendidikan. Jadi tidak bisa kita melihat penyebaran virus polio di Indonesia semata-mata sebuah musibah yang tanpa proses. Ketidak-lancaran program surveilans AFP dan ketidak-mampuan program PIN menjangkau pelosok-pelosok tertentu, jelas disebabkan oleh kelemahan pengelolaan dana keuangan negara. Korupsi bisa ditengarai pula sebagai penyebab keringkihan kita mengatasi wabah polio ; membuyarkan harapan kita untuk meraih sertifikat WHO sebagai negara bebas polio. Suka atau tidak suka, itulah ironi yang terjadi di negeri kita. Negeri yang kaya sumber-daya, tapi untuk menjalankan program primer seperti kesehatan saja, harus terbentur masalah dana.

No comments: